MENGGUGAT ETIKA JAWA DALAM NOVEL DONYANE
WONG CULIKA KARYA SUPARTO BRATA
D. Jupriono[1]
Fakultas
Sastra, University 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstract
Javanese ethic values
represented in the novel by Suparto Brata, Donyane Wong Culika (2004), are the
principles of keeping and maintaining the social harmony through tolerance,
respect, ashamed, salute (sungkan),
by suppressing ambition and personal interest. The representation of
Javanese ethic values in this novel is also broken by the masses as well as priyayi (aristocrat), officials, royal
people. Through character illustration and characters’ behavior in this novel,
actually Suparto Brata protests to Javanese ethics which are claimed to be more
honored since in this novel it proves that the masses as well as priyayi do deceitfulness and love
affairs.
Key
words: sociology of
literary, moral-phlosophical approach, Javanese ethics, social harmony,
aristocrat class
Salah satu daya tarik novel berbahasa Jawa Donyane Wong Culika (DWC) karya sastrawan produktif Suparto Brata[3]
(2004) adalah pokok persoalan yang diangkatnya, yakni kebebasan seksual
orang-orang Jawa di lingkungan keraton. Ini terasa sebagai sebuah ironi kultural: keraton sebagai pusat nilai,
etika, dan peradaban, kok melakukan
laku nista amoral (Ahamd, 2003). Seks memang bukan segalanya, akan tetapi adalah realitas bahwa dalam rimba
diskursif-simbolis—sastra termasuk di dalamnya—pokok persoalan seks senantiasa
mendapat tempat yang istimewa (cf. Rakow & Kranich, 1991).
DWC, yang
tebalnya 553 halaman, merupakan novel modern berbahasa Jawa paling tebal sampai
saat ini. Penerbitan
novel itu bukan tanpa pengorbanan, sejak Trem (2000) Suparto Brata
menerbitkannya dengan biaya sendiri karena tidak ada penerbit yang mau
mempublikasikan dengan alasan sulit dijual, hal yang sama dilakukan pula pada DWC.
Menurut Prabowo (2004), Suparto Brata menerbitkan buku-bukunya bukan karena
uang atau hadiah, tetapi keinginannya untuk mewujudkan sastra Jawa sebagai
sastra buku dan sastra dunia (Nursyahid, 2004). Hal itu telah terbukti dengan dua
kali penghargaan Hadiah Sastera Rancage 2001 dan 2005 kepada Suparto
Brata dari Yayasan Rancage.
Dalam DWC, seperti makna judulnya ‘dunianya orang jahat’, Suparto
Brata menyuguhkan cerita tragedi sebelum dan sesudah G30S PKI di Jawa Tengah,
khususnya desa-desa Bangkuning, Sruwoh, Grabag, Jombang, Purwodadi, Margersari,
Sangubanyu, Bagelen, Jenar, Kecamatan Ngombol, Pasar Njasa, Bogawanta, dan
sebagainya, sebagai kawasan yang pernah menjadi arena tragedi sewaktu PKI sedang
berkibar dan mengganas. Dengan ciri-ciri karyanya yang mengutamakan realita
perjuangan hidup melalui penggambaran tokoh-tokohnya, Suparto Brata tidak
menampilkan sosok hitam putih seperti kebiasaan dalam sastra Jawa; tokoh tidak
selalu tampil sebagai pahlawan dan selalu menang.
Melalui dialog dan perilaku tokoh-tokohnya, pembaca tidak hanya memperoleh
ketegangan tragedi PKI, tetapi dalam suasana khas budaya Jawa Suparto Brata
telah memberikan aspek yang dalam mengenai kondisi masyarakat berisi etika dan
nilai-nilai Jawa pada saat itu. Karena dalamnya nilai-nilai Jawa yang dapat
digali pada novel itu, terasa bahwa aspek nilai tersebut masih melekat pada
masyarakat Jawa sampai saat ini. Selain itu, dengan menceritakan tokoh-tokoh
(Kasminta, Pratinah, Tukinem, Guru Kardi, dll.) dalam masyarakat Jawa yang
terlibat dalam perbuatan culas, seakan-akan Suparto Brata[4] ingin menggugat keluhuran
etika Jawa.
Begitulah, ada tiga fokus kajian tulisan ini. (1) Nilai-nilai etika Jawa manakah
yang direpresentasikan oleh Suparto Brata dalam DWC? (2) Pelanggaran apa
sajakah yang terjadi terhadap etika Jawa dalam novel ini? (3) Nilai-nilai etika
Jawa manakah yang digugat Suparto Brata? Ketiga fokus ini akan dikaji dari
perspektif moral filosofis (Burris, 1999).
METODOLOGI
Karya Sastra
sebagai Cermin Budaya Masyarakat
Karya sastra menyimpan nilai-nilai edukatif, moral, religiusitas, sejarah,
humanitas, sepanjang abad. Ia dapat bertindak sebagai cermin reflektif serta
pedoman berperilaku. Karya sastra sering menjadi sumber pemikiran dan pencarian
makna kehidupan yang tidak pernah selesai (Burris 1999). Memang, anggapan bahwa
sastra menyimpan nilai moral filosofis memiliki pijakan historis yang sudah
sangat tua (Hogan, 2000).
Sekitar 400 tahun sebelum Masehi (SM) Plato, seorang filosof klasik Yunani
Kuno, pernah menghimbau warga Athena agar menjauhi puisi sebagai sumber nilai
moral sebab puisi menyesatkan: hanyalah ”tiruan atas tiruan dari realitas
tertinggi”. Hal ini dapat dimaklumi karena Plato memang pejuang filsafat yang meletakkan
ide di atas materi (Platonisme) (Guthrie, 1981). Akan tetapi, justru kebencian
Plato pada sastra menyadarkan orang bahwa sastra memiliki ”sesuatu yang tidak
sederhana”, bahkan suatu kekuatan institutif yang sanggup memengaruhi
masyarakat, bahkan memicu perubahan sosial (cf. Hogan, 2000; Skilleas, 2001).
Melalui karya sastra seorang pengarang dengan sendirinya menyuguhkan fakta
sosial sesuai dengan idealismenya. Seperti apa pun bentuk karya sastra
(fantastis dan mistis) pasti akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial.
Dari perspektif sosiologis ini, novel Donyane Wong Culika, misalnya,
dapat dianggap sebagai cermin masyarakat Jawa, khususnya pada pasca-G30S 1965.
Adalah mungkin bahwa karya sastra menjadi cermin bagi zamannya. Menurut Endraswara
(2004), refleksi sosial sastra meliputi: (a) dunia sosial manusia dan
seluk-beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) cita-cita
untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e)
konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
Karya sastra sebenarnya merupakan cermin perjalanan “jalan raya” dan “biru
langit” hidup manusia, meskipun kadang-kadang harus mencerminkan “lumpur dalam
kubangan”: silih berganti mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia.
Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan
pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, bahkan, dapat berupa
pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial, secara real tanpa terlalu
banyak diimajinasikan (Stendal dlm. Damono, 2000).
Konsep Dasar Etika Jawa
Dalam kehidupan masyarakat
Jawa terdapat etika yang dikenal luas sebagai etika keselaran sosial, yang
mencakup dua prinsip dasar: prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Magnis-Suseno,
2005).
Prinsip kerukunan bertujuan mempertahankan masyarakat selalu dalam keadaan
harmonis. Rukun
berarti
“berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan
pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Prinsip ini
menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan
dan ketenangan dalam masyarakat (Mulder, 1985: 51-55). Untuk itu, individu
dituntut bersedia menomorduakan, bahkan, kalau perlu, melepaskan, kepentingan
pribadi demi kesepakatan bersama. Prinsip rukun mengharuskan setiap individu
untuk senantiasa sabar, sing salah seleh, nrimo ing pandum.
Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan
membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya agar tercapai keteraturan masyarakat
(Magnis-Suseno, 2005: 60). Masyarakat akan teratur jika setiap orang mengenal
tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat
merupakan satu kesatuan yang selaras. Kesatuan ini hendaknya diakui oleh semua dengan membawa
diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Setiap orang harus mengenal kapan dan
di mana dia berada, empan papan. Menurut Mulder (1985), ambisi,
persaingan, kelakuan kurang sopan, dan keinginan mencapai keuntungan material
pribadi dan kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan,
ketidakselarasan, dan kontradiksi, sehingga harus dicegah.
Sikap hormat ditunjukkan ke dalam tiga rasa, yakni wedi, isin, dan sungkan
(Geerzt dalam Magnis-Suseno, 2005: 63). Rasa wedi berarti tiap orang
hendaknya menunjukkan rasa takut kepada orang yang harus dihormati, lebih tua,
dan orang asing. Rasa isin adalah ‘malu’, juga ‘malu-malu’ dan ‘merasa
bersalah’, biasa ditunjukkan kepada orang-orang di luar keluarga atau ketika
diketahui telah melakukan perbuatan yang tidak baik atau tidak menghormati yang
harus dihormati; ketakutan terhadap rasa isin merupakan salah satu
motivasi terkuat bagi orang Jawa untuk menyesuaikan kelakuannya dengan
norma-norma masyarakat. Sungkan adalah malu dalam arti positif. Dalam
gambaran Geertz (dalam Mulder, 1985), sungkan adalah “rasa hormat yang sopan
terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal” sebagai “pengekangan halus
terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain”.
Selain prinsip rukun dan prinsip hormat, ada aspek lain menyangkut naluri
dasar manusia yang mendapat imbas dari etika keselarasan sosial, yaitu etika
seksual Jawa. Etika Jawa mengatur bahwa hubungan seksual hanya diizinkan dalam
rangka perkawinan. Masyarakat Jawa dalam bidang seksual condong bersikap tegas.
Pada
perayaan-perayaan di desa pria dan wanita duduk terpisah (Magnis Suseno, 2005).
Dalam etika seksual ada tiga unsur yang dapat diperhatikan. Pertama,
tidak ada anggapan bahwa hubungan seksual itu sendiri harus dipandang sebagai
sesuatu yang problematis secara moral. Kedua, masyarakat Jawa tidak
mempunyai harapan-harapan berlebihan di bidang seksual,
penyelewengan-penyelewengan bisa saja terjadi dan tidak dianggap amat
memalukan. Ketiga, kejelekan hubungan seks di luar perkawinan terletak
dalam penyelewengan dari norma masyarakat. Jadi, mengenai hubungan seks,
masyarakat Jawa nampaknya tidak berkepentingan pada prinsip-prinsip moral
mutlak, melainkan agar ketenangan dan keselarasan tetap terjaga.
(Magnis-Suseno, 2005). Maka, dalam etika Jawa, motivasi mencegah hubungan seks
di luar nikah tidak berangkat dari kesadaran internal individu atau rasa
berdosa, tetapi semata-mata takut mencoreng keharmonisan sosial dan nama baik keluarga.
(cf. Achmad, 2003)
Sinopsis Novel Donyane
Wong Culika
Untuk menyeragamkan pemahaman
terhadap isi cerita novel DWC, yang tebalnya 535 halaman, itu, berikut ini dibentangkan sinopsisnya.
Kasminta pulang
kampung ke Bangkuning, Jogjakarta , setelah 10
tahun pergi ke Surabaya .
Sampai di sana
banyak yang berubah. Ayahnya telah lama meninggal dan Nini Sali, ibunya,
tampak menderita tinggal bersama adik Kasminta, Painem. Tanah dan rumah sudah
dijual ke Pak Darmin. Atas kebaikan Pak Darmin, ibunya boleh tinggal di rumah
itu sampai akhir hidupnya. Setelah Pak Darmin mati dibunuh oleh BTI/PKI,
Mintarti menjadi hilang ingatan sehingga sawah dan tanahnya dipercayakan kepada
Guru Kardi. Agar dapat menggarap sawah bekas milik orang tuanya, Kasminta
walaupun benci, terpaksa menghormati Guru Kardi agar niatnya tercapai. Tetapi
setelah bertemu Mintarti di rumahnya, Mintarti malah berteriak-teriak menangis
dan memanggil Kasminto dengan nama Susmanto. Guru Kardi datang menengok ke
dalam lalu mengajak Kasminto keluar untuk tidak mengganggu Mintarti yang tidak
waras, Kasminto menyatakan niatnya dan disetujui Guru Kardi.
Keesokan hari Guru Kardi malah memberi proyek kepada
Kasminto, begitu seterusnya Kasminto sering dipercaya memegang proyek sehingga
merubah sedikit demi sedikit nasibnya dan ibunya. Dengan kelihaiannya, Kasminto
menjadi orang kepercayaan Pak Jodi, priyayi pemborong. Suatu saat Kasminto
disuruh mencari dalang kondang untuk menanggap wayang bagi peresmian proyek
Inpres. Di situ, Kasminto jatuh hati pada Pratinah, anak Dalang Pratiknyo yang
baru pulang dari Jakarta. Pratinah sangat cantik, bergaya hidup modern,
berpacaran dengan jutawan Oom Son.
Pak Jodi tertarik pada Pratinah karenanya mengingatkannya
pada Srimadu, sinden kondang waktu dulu, yang ternyata ibu Pratinah. Sejak itu
Kasminto dekat dengan Pratinah. Saat dimintai tolong mencarikan guru les adik
Pratinah, Kasminto mengusulkan Guru Kardi, yang ternyata adalah mantan cinta
monyetnya Pratinah waktu masih menjadi muridnya. Kasminto cemburu dan makin
dendam kepada Guru Kardi. Tukinem
anehnya malah mendorong suami (Kardi) agar dekat dengan Pratinah.
Ketika tersiar kabar Mintarti hamil dan tidak diketahui
siapa lelakinya, Kasminto memfitnah Guru Kardi sebagai penghamil. Masyarakat
mempercayainya. Belum reda gosip itu, terdengar lagi kabar Mintarti meninggal
dengan tubuh bugil. Saat itu Guru Kardi ketakutan setengah mati dan bersembunyi
di kamarnya. Tukinem berusaha melindungi suaminya dan mencari informasi.
Tukinem ingat, Mintarti pernah berkata bahwa Susmanto sering datang menengoknya
padahal semua orang tahu Susmanto telah meninggal pada waktu pembasmian
terhadap PKI. Dengan kunci itu Tukinem ingat Kasminto yang pernah mengunjungi
Mintarti dari cerita suaminya dan Tukinem juga ingat Kasminto murid yang paling
bandel selain itu ketika membongkar rumah Pak Sali setelah dibeli oleh Pak
Darmin, banyak terdapat buku-buku tentang PKI koleksi Kasminto. Tukinem melapor
kepada polisi desa bahwa Kasminto adalah gembong PKI.
Di saat masyarakat ramai-ramai mengutuk Guru Kardi
sebagai pembunuh dan pemerkosa Mintarti, polisi desa langsung menangkap
Kasminto sebagai gembong PKI. Tukinem memanggil-manggil suaminya supaya keluar
dari kamar, namun ternyata Guru Kardi ditemukan telah tewas gantung diri.
Pada saat orang-orang percaya Guru Kardi yang menghamili
Mintarti, Pratinah tidak percaya. Dengan persetujuan Tukinem, Pratinah menemui
Guru Kardi di rumah Mintarti. Sebelum Guru Kardi datang, Mintarti dan Pratinah
bercakap-cakap dan Mintarti bercerita tentang pertemuannya dengan Susmanto
sehingga dari petunjuk ciri-ciri tubuh yang digambarkan oleh Mintarti, Pratinah
juga yakin bahwa penghamil Mintarti adalah Kasminto. Namun Pratinah mempunyai
niat tidak baik, ia memberi obat tidur pada minuman Mintarti sehingga Mintarti
tertidur. Guru Kardi datang disambut
Pratinah dengan pakaian merangsang birahi, sehingga Guru Kardi pun
menuruti ajakannya. Namun, selanjutnya Pratinah tertawa terpingkal-pingkal
melihat Guru Kardi yang ternyata tidak seperkasa tubuh luarnya. Pratinah terus
terpingkal-pingkal menertawakan ketidakberdayaan Guru Kardi. Guru Kardi sangat
tersinggung dan menutup rapat-rapat mulut Pratinah, Pratinah terus tertawa,
sehingga Guru Kardi panik, mencekiknya, hingga Pratinah sulit bernapas, lalu
mati lemas.
ANALISIS DAN
HASIL
Representasi
Nilai-Nilai Etika Jawa dalam Donyane Wong Culika
Bahwa dalam novel
ini etika Jawa menjadi pokok persoalan utama sudah tampak sejak orang membaca
judulnya: Donyaning Wong Culika (DWC)
‘dunianya orang-orang culas’. Perihal culas, ini masuk dalam wilayah
pembicaraan etika (Magnis-Suseno, 20055). Jika
dideskripsikan lebih lanjut, nilai-nilai Jawa yang direpresentasikan dalam
novel ini mencakup juga prinsip rukun, prinsip hormat, wedi, isin, dan sungkan.
Prinsip mempertahankan kerukunan, misalnya, tampak dalam dialog-dialog jagongan
panjang—terkesan seperti ceramah propaganda—antara priyayi Den Darmin, Guru
Kardi, dan Tukinem. Bayangkan saja sampai memakan 34 halaman (hal. 148—181)!
Contohnya, perhatikan cuplikan “ceramah”
Den Darmin berikut:
“… Aku metu saka tentara
kanthi rumangsa dosa. Dosa wis mateni bangsa dhewek. Sanajan kuwi wong komunis.
Aku ora tega. … Jarene mbelani paham, mbelani nasional, mbelani agama, mbelani
komunis, nanging kok padha ora eling yen sing dimungsuhi kuwi ya bangsane
dhewe … Mbok mbelani paham kuwi ora sah
otot-ototan bengkerengan kaya ngono kuwi!
… Tujuan sing paling
aji kuwi manunggale kekuwatan bangsa … (Brata,
2004: 149—150).
Dalam kutipan ini, Suparto Brata menegaskan
salah satu nilai inti etika Jawa, yakni prinsip rukun: setiap individu
berkewajiban menjaga keselarasan sosial dan tidak dibenarkan bersikap dan
bertindak egois-indiviudal dan egois-kelompok (Magnis-Suseno, 2005; Mulder,
1985). Dalam novel ini memang dikisahkan tindakan tercela PKI[5]—yang
diwakili oleh Susmanto, ketua BTI Purwodadi—yang memaksa para petani agar
membeli pupuk pada koperasi BTI. Ketika banyak
petani menurut—karena bodoh atau pun karena takut—Den Darmin dan Tukinem
terang-terangan menolaknya. Akibatnya, Den
Darmin dikeroyok BTI hingga tewas di tanah sawahnya sendiri di siang bolong.
Nilai etika Jawa selanjutnya yang hendak
direpresentasikan Suparto Brata adalah sabar (kesabaran), ngalah,
dan sing salah seleh. Ini tampak saat Tukinem menanggapi pendapat Guru
Kardi, suaminya, agar Sabar mempolisikan orang-orang gerombolan Gerwani yang
mengeroyok hingga mati Siwo Karta. Tukinem menanggapi Kardi sekaligus
menasihati Sabar, seperti dalam kutipan berikut:
“… Wis! Aja
bantas-bantas nyelathu wong sing lagi keras, wong sing lagi menang. Wis ben,
awake dhewe ora sah mokal-mokal. Luwih becik tumindhak waton slamet dhisik wae.
… Kita kudu eling critane lima Sa-La
nglegena wiknyan yen diowah-owahi sandhangane biyen. Salah, seleh, silih,
solah, soleh. Sapa sing salah kudu seleh, supaya dadi saling silih, solah, lan soleh,”
ujare Tukinem (Brata, 2004: 183).
Prinsip hormat
mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri harus
selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya agar tercapai keteraturan masyarakat (Magnis-Suseno, 2005: 60). Untuk itu, orang harus tahu “siapa saya, siapa Anda”, empan
papan. Kasminto pun, yang buronan PKI Blitar Selatan itu, di awal-awal
kedatangannya di desanya, menunjukkan sikap hormat kepada orang yang lebih
tinggi derajatnya, walaupun dalam hati ia tidak setuju, seperti kutipan
berikut:
Dhasar Kasminta sipate
mblubut, ketemu Jodi si Macan Gembong, dheweke bisa ngrempek-ngrempek. …
“Kasminta!”
“Dalem, Ndara?” wadhuh,
jaman kepungkur, mangsa gelema Kasminta ngundang mengkono. Ngagungake
wong kang kaya mengkono klebu sing kudu dibrantas … (Brata, 2004: 46).
Memang, Kasminta
adalah tokoh pelarian PKI Blitar Selatan yang menjadi buronan tentara. Ia cukup
cerdik untuk memperlihatkan sikap hormatnya kepada pejabat, orang lebih tua,
pegawai negeri, meskipun dalam hatinya menolaknya. Dalam perspektif etika Jawa,
tindakan kasminta ini tepat, tahu empan
papan, memenuhi tuntutan hormat (Magnis-Suseno, 2005)—walaupun di waktu
berikutnya Kasminta diketahui justru memprovokasi para kusir dhokar agar
mengeroyok seorang pegawai negeri, Guru Kardi.
Prinsip hormat
juga mempersyaratkan terpeliharanya stratifikasi sosial hierarkis di suatu
masyarakat. Hal ini direpresentasikan oleh Suparto Brata melalui “ceramah” Den
Darmin tentang sisi negatif bila rakyat jelata—yang pasti bodoh—memimpin
negara, sbb.:
“La saiki negara kita iki sing diudi, sing digembar-gemborke demokrasi,
negarane rakyat. Rakyat sing nguwasani negara. … yen dipeksa digambarake ing
pewayangan, ya mung ana lakon siji, Petruk Dadi Ratu. … kuwi lakon jan samudana
ngece banget. Negara dipangarsani dening punakawan, rakyat, wong bodho, ya
negarane rusak. Bubrah. (Brata, 2004: 154—155).
Terlepas dari sisi
negatif dilihat dari perspektif kontemporer saat ini, pernyataan Den Darmin
yang memang masih trah (keturunan) darah biru itu memang membenarkan keharusan orang jelata
(yang pasti bodoh) menghormat orang bangsawan (yang pasti lebih pintar). Pandangan
ini tidak egaliter, memang, tetapi itulah etika Jawa (Mulder, 1985).
Pelanggaran Etika Jawa dalam Donyane
Wong Culika
Prinsip pertama
yang dilanggar adalah prinsip hormat, yang menghendaki agar setiap orang dalam
cara berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain, terutama kepada orang yang derajatnya lebih tinggi, orang lebih
tua, dan orang asing atau baru dikenal, agar tercapai keteraturan masyarakat
(Magnis-Suseno, 2005: 60). Untuk itu, orang
harus tahu “siapa saya, siapa Anda”, empan papan. Pelanggaran pertama
dilakukan oleh gembong PKI Susmanto ketika menyapa pertama kali kepada Tukinem,
yang usianya tak jauh berbeda dan baru saja mereka berkenalan, seperti kutipan
berikut:
“… Mangga lenggah. Rak
enggih sami kawilujengan, ta, rawuhe?”
“Pangestune, Mbok. La sakundure, sampeyan rak enggih wilujeng, ta?”
“Ah, nggih kuru-kuru ngeten niki, wong trahe tiyang tani utun.”
Saiki Tukinem ngreti. Rasa serik sing nyanthol ing atine nalika ketemu
Susmanta ora mung merga jengkel ngrasakake sipat ndhugale nom-noman kuwi
anggone murang tata, … nanging uga marga ngundang ‘Mbok’ marang Tukinem.
Iki dianggep nyepelekake drajate Tukinem. Susmanta ora gelem nyeluk ‘Mbak’
utawa ‘Bu’. (Brata, 2004:
135—136).
Pelanggar kedua
adalah Kasminta, si gembong PKI pelarian dari Blitar Selatan itu, ketika masih
SMP, sudah kurang ajar terhadap Tukinem, istri gurunya sendiri, Sukardi,
seperti dipergunjingkan oleh Tukinem dan Sukardi berikut:
“La iya kuwi rak dhek kowe isih sekolah rakyat ta, Tuk. Isih padha cilike.
Mongsok bareng gedhe ora owah klakuane?”
“Apa, isih cilik? Wong bareng wis gedhe, aku wis dadi guru, lan dheweke
dadi murid njenengan, tau ketemu aku dheweke mimpin kanca-kancane mbengoki aku
ngene: ‘Sasane ba gara malas-malas?’ Ngono kuwi kurangajar apa ora? Wis gedhe rak isih mungsuhi aku!”
“Mbengoki ngono kuwi tegese
kpriye, ta?”
“Ya coba, aksara sing nglegena sandhangana suku, apa a ne gantinen
karo u.” (Brata, 2004:
196).
Dalam kutipan ini Kasminta kurang ajar, tidak sopan, tidak
punya malu (isin) dan takut (wedi). Dia mengurangajari Tukinem,
yang istri gurunya itu, dengan meneriakkan pelecehan martabat yang maksudnya
‘Susune Bu Guru mulus-mulus’.
Kerukunan adalah sesuatu yang dijaga dan
dipertahankan. Maka,
sikap individualistik dan mementingkan diri sendiri, dendam, dan tak mau rujuk,
adalah buruk. Ini tampak pada perilaku Kasminta yang walaupun sudah ditolong
oleh Guru Kardi berkali-kali, tetap saja tidak menunjukkan rasa terima kasih,
malahan menunjukkan rasa dendamnya, terutama kepada Tukinem, istri Guru Kardi.
Perhatikan kutipan berikut:
Wis watara rong tahunan anggone bali menyang Bangkuning lan wis bola-bali
ditulung dening Sukardi. … Nanging meksa wegah Kasminta mara dhayoh menyang
omahe Guru Kardi. Wis makaping-kaping Guru Kardi ing
kalodhangan ngakon Kasminta teka ing omahe ngiras pantes kenalan karto Tukinem.
Wong Tukinem kuwi biyen ya wis
tepung karo Kasmin, nalika dhek cilik biyen. Nanging tansah ditulak utawa
diendhani dening Kasminta. Emoh. Pendheke yen dikon ketemu karo Tukinem, emoh! (Brata, 2004: 32).
Dalam hal ini Kasminta sebagai mantan murid
bukan saja tidak menghormati gurunya, tetapi juga memelihara dan memperpanjang
dendam—sesuatu yang jelas-jelas mengganggu keharmonisan sosial (Mulder, 1985)
warga di desanya. Ia menolak rukun dengan keluarga Sukardi dan istrinya,
Tukinem, tidak menyadari bahwa ibunya, Nini Sali telah ditolongnya, bahwa dia
diizinkan menggarap lagi sawah yang telah terjual atas izin Guru Kardi.
Tindakan tidak tahu malu, yang jelas melanggar
keselarasan sosial, juga dilakukan oleh Pratinah yang tergila-gila berat kepada
fisik Guru Kardi—padahal ia tahu Guru Kardi sudah beristri. Gilanya lagi, itu
dilakukan terang-terangan di muka Tukinem, istri gurunya itu. Memang, kegenitan
Pratinah sudah terlihat sejak ia masih jadi murid SMP muridnya Guru Kardi yang
masih bujang, seperti kutipan berikut.
“Kowe mbesuk kepingin dadi apa, Prat?” karepe Kardi, cita-citane.
“Dados manten!”
Kardi ora bisa ngempet guyu. Pratinah pancen pinter banget ngomong
plesetan, diplesetake marang srawunge lanang-wadon, apa luwih ciyut maneh mligi
srawunge Sukardi karo Pratinah.
“Dadi manten karo sapa?”
“Kalih Pak Kardi. Purun nggih, Pak, Njenengan?” … (hal. 272)
“Isih cilik kok wis golek bojo?” …
“Aah, Pak Kardi, ki! Nggih dientosi, ta, Pak, kula! Sekedhap engkas kula
rak pun dhara. Kula pun nggarapsari, kok, Pak, saniki!” (Brata, 2004: 274).
Dalam peristiwa
ini Suparto Brata memperlihatkan pelanggaran yang dilakukan Pratinah terhadap
etika Jawa hormat, isin, dan sungkan (Magnis-Suseno, 2005). Sebagai murid, Pratinah mestinya hormat terhadap gurunya,
Kardi. Sebagai perawan, mestinya Prtinah hormat terhadap lelaki yang baru
diakrabinya. Sebagai anak SMP, yang masih puber, mestinya malu kalau sudah
berbicara soal cari jodoh dan menstruasi kepada
lelaki asing yang baru akrab dan bahkan sekaligus gurunya.
Setelah dewasa, sepulangnya dari rantauannya di
Jakarta ,
Pratinah tetap tidak malu, ora duwe isin, ketika mengajak-ajak
terus-menerus Guru Kardi untuk selingkuh. Pada suatu siang, misalnya, Pratinah
sudah menunggunya di rumah Mintarti yang sudah diobat tidur sehingga tertidur
pulas, dan akhirnya terjadilah hubungan dosa itu, seperti kutipan berikut:
Sukardi teka kaya adat saben.
“Sugeng siyang, Maaas!”
“Lo! Mintarti menyang endi? Eee, Pratinah. Kena apa kok kowe tekan kene …!”
Kuwi kawitane. Sabanjure Pratinah ngleksanani angen-angene. Nagih pepinginan sing mung bisa diladeni
dening Mas Sukardi.
Dhisike Sukardi kipa-kipa emoh. Nanging dudu Pratinah yen ora bisa
nglilihake wangkange Sukardi. … Kaet biyen kepingiiin banget sacumbana karo
Sukardi.
“Ngelaaak banget! Ngelaaak banget! Aku ombenana, ya, Mas!”
Pratinah ora sranta, sret, terus wae roke diuculi, wuda. … (Brata, 2004:
531—532).
Dalam percumbuan
itu, di luar dugaan siapa pun, baru ketahuan ternyata Sukardi menderita peluh, disfungsi ereksi. Menyaksikan
ini, Pratinah tertawa cekikikan. Sukardi merasa diejek, dihina, dan
tersinggung. Lalu, Pratinah dicekik dan mati! Seperti orang gila, lalu Sukardi
histeris, bingung, menyesal—dan akhirnya gantung diri!
Dalam lembar
terakhir novel ini ditegaskan sekali lagi oleh Suparto Brata bahwa Pratinah
memang lahir dari ibu dan nenek yang punya hobi selingkuh dan kasenengane saresmi, gemar bersenggama (sex maniac), senantiasa—bahkan selingkuh
di lingkungan keraton. Pretty—panggilan gaul-nya—adalah
generasi ketiga dari 2 perempuan, yang berasal dari 2 generasi sebelumnya,
dalam 1 garis keturunan. Ibu kandung Pratinah, Srimadu, semasa perawan telah
bersanggama dengan Kapten Saksana. Padahal, Om
Son—panggilan Kapten Saksana—pulalah yang setelah sekian tahun kemudian justru
berselingkuh dengan Pratinah di Jakarta. Keduanya tidak tahu bahwa mereka
adalah bapak dan anak.
Nenek Pratinah, seorang selir keraton, juga
selingkuh dengan seorang pangeran yang belasan tahun, yang diasuhnya, hingga
hamil. Ibu
kandung Pratinah adalah anak hubungan gelap ini. Dalam hal ini, Suparto Brata
menulis:
Ah! Pratinah ora ngerti, yen uga Oom Son kuwi sing biyen karan
Kapten Saksana, kuwi menus lanang kang mrawani Srimadu, ibune. …
Ah! Pratinah ora ngerti,
menawa eyang putrine biyen, ngandhut jabangbayine ibune Pratinah, marga saking
anggone lelangen asmara
karo jaka cilik momongane kang durung supit!
Wiji-wijine pancen saka keturunan kang kasenengane saresmi. (Brata,
2004: 535).
Seperti disimpulkan
Magnis-Suseno (2005: 176—179), dalam soal hubungan seks di luar nikah,
masyarakat Jawa nampaknya tidak berkepentingan pada prinsip-prinsip moral
mutlak, melainkan agar ketenangan dan keselarasan tetap terjaga. Maka, dalam
etika Jawa, motivasi mencegah hubungan seks di luar nikah tidak berangkat dari
kesadaran internal individu atau rasa berdosa, tetapi semata-mata takut
mencoreng keharmonisan sosial dan nama baik keluarga (cf. Achmad, 2003).
Mungkin ini pulalah yang mendorong Pratinah, Srimadu, dan neneknya, ketika
pertama kali menurutkan hawa nafsu sesksualnya untuk berselingkuh. Yang penting,
menurut perhitungannya, tidak ketahuan orang—walaupun akhirnya justru fatal
menggiringnya ke lorong kematian.
Gugatan Suparto
Brata terhadap Keluhuran Etika Jawa
Ketika membaca halaman demi halaman sekilas tampak bahwa Suparta Brata—yang
masih trah bangsawan Kasunanan Surakarta itu—membanggakan keluhuran
etika Jawa, lebih sempit lagi etika Jawa di lingkungan kraton. Hal ini tampak dalam “ceramah” bangsawan Den Darmin kepada
priyayi desa Guru Kardi dan Tukinem. Hal serupa ditunjukkan Suparto Brata lewat
dialog tentang priyayi yang lari dari kraton dari Srimadu alias Madusari kepada
anak gadisnya, Pratinah. Srimadu selalu menyebut keluhuran ajaran etika dan
budaya Jawa yang bersumber pada kitab Wulangreh, Sabdatama, Babad Tanah
Jawi, Wedhatama, juga kisah-kisah teladan moral dari kisah Mahabarata dan
Ramayana. Sastra
sebagai sumber etika moral (Burris, 1999; Skilleas, 2001) amat terasa di sini.
Meskipun demikian,
jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya justru Suparto Brata telah
melancarkan gugutan kutural terhadap keluhuran etika Jawa yang
diunggul-unggulkan tokoh-tokoh bangsawan dan priyayi dalam novel DWC
itu. Lebih rinci, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, di bagian awal tampak
Suparta menempatkan Kasminta dan Susmanta (yang PKI) sebagai tokoh yang tidak
disukai pembaca—juga oleh Suparto sendiri tentunya. Yang ditonjolkan agar
disukai pembaca adalah Den Darmin, Guru Kardi, dan Tukinem. Akan tetapi,
Suparto juga menunjukkan bahwa Den Darmin memandang bodoh rakyat kecil. Ini
penulis kira merupakan upaya halus Suparto untuk menggugat kandungan feodalisme
dan ketidak-egaliter-an dalam etika Jawa. Maka, Den Darmin pun “dimatikan” oleh
Suparto. Bisakah ini diinterpretasikan sebagai pandangan persepsi kultural
personal Suparto sebagai pengarang yang justru antipriyayi?
Guru Kardi, sekalipun
ditonjolkan sepanjang halaman sebagai priyayi guru yang sopan, baik, patut digugu ditiru,
oleh rakyat kecil jelata di sekelilingnya, ternyata mengakhiri hidupnya dengan
gantung diri. Apalagi, pada bagian akhir, disingkapkan oleh Suparto bahwa kalau
selama ini Guru Kardi tidak gampang tergoda oleh rayuan Pratinah, itu terjadi
bukan karena setia atau tebal iman, melainkan karena Guru Kardi menderita lemah
syahwat, disfungsi ereksi. Tukinem pun dilukiskan sebagai istri yang mendorong
suaminya, Guru Kardi, agar bersedia menyelingkuhi Pratinah. Bolehkah
disimpulkan bahwa antipriyayi Suparto—yang sebetulnya juga masih darah biru
itu—tidak hanya tertuju pada priyayi kraton, tetapi juga mencakup priyayi desa
macam guru Kardi itu?
Kedua, jika sepanjang
halaman ditunjukkan keluhuran nilai etika Jawa, lebih khusus lagi etika kraton,
Suparto juga menunjukkan bahwa pejabat tinggi (Saksana), orang-orang di
lingkungan kraton (nenek Pratinah dan Srimadu), atau keturunan bangsawan (Pratinah)
pun melakukan hal yang sama seperti orang kebanyakan: selingkuh. Dalam hal ini
seakan Suparto hendak mengatakan bahwa sesungguhnya selingkuh dapat terjadi di
lingkungan mana pun, jelata maupun istana, rakyat maupun pejabat, sipil maupun
militer. Artinya, etika Jawa kraton
memang baik dan luhur, akan tetapi perilaku orang-orangnya belum tentu baik dan
luhur, bisa saja senistha orang-orang pidak
pedarakan jelata kebanyakan (masses,
man in the street). (cf. Achmad, 2003).
Ketiga, sesuai dengan judulnya,
Suparto lewat DWC (2004), seakan menyadarkan bahwa dalam pandangan etika
Jawa baik dan buruk bukan sesuatu yang berhadapan kontras diametral, tetapi
senantiasa ada pada setiap individu dan kelas sosial mana pun. Sebaik-baik
Pratinah, yang dilawankan dengan perangai Kasminta dan para demonstran, toh
mengumbar nafsu seenaknya dengan Guru Kardi, Saksana, dan Omm Stefy. Seluhur-luhur
Guru Kardi, tetaplah ia manusia biasa, yang akhirnya tidak kuat juga menahan
godaan nafsu Pratinah. Setegas-tegas prinsip hidup Tukinem, toh ia malah
mendorong suaminya untuk menyelingkuhi Pratinah. Maka, baik dan buruk adalah
satu kesatuan dalam setiap sifat dan tindakan manusia.
Sebagai karya
sastra, DWC Suparto Brata bercorak
khas. Tidak seperti petuah-petuah moral filosofis dalam Wulangreh,
Sabdatama, Babad Tanah Jawi, Wedhatama, Wirid Hidayat Jati, Serat Sasana Sunu, dll., yang bercorak memuji,
mengagumi, dan mengagungkan keluhuran dan kemuliaan kelas priyayi, Suparto
Brata lewat DWC terkesan justru
melucuti keluhuran serta membelejeti kemuliaan bangsawan Jawa itu. Pada yang
pertama, nilai moral filosofisnya senantiasa dicorakkan dalam etika positif:
“Kamu harus melakukan ini!”, sedang pada yang kedua (DWC) nilai itu justru diekspresikan dengan etika negatif: “Jangan
lakukan ini!” Suparto Brata—priyayi Kasunanan Surakarta yang keluar dari
kungkungan keraton ini—seolah ingin bersaksi betapa buruknya kehidupan
lingkungan keraton yang oleh masyarakat jelata Jawa justru dipersepsi secara
kultural sebagai pusat dari segala pusat nilai moral etika sosial.
Suparto seakan
ingin menghidupkan kembali roh Ranggawarsita[6],
pujangga Kraton Surakarta abad XIX, yang kesohor sebagai juru bicara
kritikus-tajam terhadap sisi-sisi minor nista etika, budaya, dan politik
masyarakat Jawa sepanjang abad, misalnya melalui puisi tembang-tembang macapat-nya dalam Joko Lodhang,
Kalatidha.
Dapat ditangkap dengan amat jelas di sini bahwa melalui sastra
pengarang tidak sekadar mengekspresikan kemerdekaan estetisnya, lebih dari itu
juga menyuarakan pesan-pesan moralitas yang diyakini. Sastra sebagai sumber
nilai moral dalam hal ini mendapat justifikasi (Hogan, 2000; Skilleas, 2001), meskipun legitimasinya selalu dalam ruang
relativitas.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di muka, dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, nilai-nilai etika
Jawa yang direpresentasikan dalam novel Donyane
Wong Culika (2004) karya Suparto Brata adalah prinsip menjaga dan
mempertahankan keselarasan sosial melalui kerukunan, hormat, malu, isin,
dan sungkan, dengan menekan ambisi dan kepentingan pribadi. Kedua,
representasi nilai-nilai etika Jawa dalam novel ini juga dilanggar baik oleh
tokoh-tokoh kasar strata bawah (jelata, masyarakat bawah) maupun oleh kelas
strata atas priyayai, pejabat, dan bangsawan. Ketiga, melalui pelukisan
karakter dan perilaku tokoh-tokoh dalam novel ini, Suparto Brata sesungguhnya
menggugat etika Jawa yang diklaim lebih luhur sebab terbukti bahwa baik orang
bawah maupun priyayi sama–sama melakukan perilaku nista, keculasan dan selingkuh.
Satu novel (DWC)
tentu sulit diklaim sebagai representasi dari keseluruhan pandangan etika moral
Suparto Brata—inilah salah satu kelemahan pembahasan ini. Jika kajian hendak
dilanjutkan, hendaknya data diperluas. Seluruh cerpen dan novel[7]
Suparto Brata sebelumnya tidak boleh dilewatkan sebagai sumber data penelitian.
Jika seluruh karyanya diangkat, akan dapat ditemukan pandangan menyeluruh
Suparto mengenai nilai-nilai etika moral masyarakat Jawa yang diyakini dan
nilai-nilai etika sosial budaya Jawa yang diobsesikan. Untuk ini, pendekatan
ekspresif (Abrams, 1983) barangkali tepat untuk diterapkan.
REFERENSI
Abrams, M.H. 1983. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition.
Cetak ulang. London: Oxford University Press.
Achmad, Daryati P. 2003. “Mengintip Jagad
Seksualitas Orang Jawa”. www.tempointeraktif.com/
ruangbaca/ulasan/index-isi.asp?file=ulasan0702. Akses 20 Juli 2010.
Brata, Suparto.
2002. Kremil (Novel). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brata, Suparto.
2003. “Sastra Jawa Tanpa Buku”. Panjebar Semangat No. 30, 26 Juli:
25—26, 45.
Brata, Suparto.
2004. Donyane Wong Culika. (Novel). Yogyakarta: Narasi.
Burris, Skylar Hamilton. 1999. “Literary
Criticism: An Overview of Approachs, Moral/Phlosophical Approach”. www.literatureclassics.com/ancientpaths/litcrit.html#moral. Akses 20 Juli 2010
Damono, Sapardi
Djoko. 2000. Priyayi Abangan: Dunia Novel
Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang Budaya.
de Jong, S.
1984. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius.
Elip, Emilianus.
1991. “Posisi Raja dalam Alam Pikiran Jawa”. Basis XL/7, Juli: 275—281.
Guthrie, W. 1981. A History of Greek Philosophy. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Hogan, Patrick C. 2000. Philosophical Approaches to the Study of Literature. Gainesville,
Florida: University Press of Florida.
Jupriono, D. 2008. ”Ajaran Kepemimpinan Astabhrata dalam Novel Donyaning Wong Culika Karya Suparto
Brata”. Makalah Diskusi Seni Budaya Kelompok Terbatas DKS Surabaya, 25 Oktober
2008
Jupriono, D. & Soekarno Hs. 2004. ”Aktualitas Pesan Moral
Puisi-puisi Kalatidha dan Serat Jaka Lodhang Ranggawarsita”. Humanika 8(2) Desember 2004.
Magnis-Suseno, Franz. 2005. Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Mulder, Niels.
1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Nursyahid P.,
Moch. 2004. “Donyane Wong Culika Nggebrak Sepine Penerbitan Sastra
Jawa”. Resensi Buku. Panjebar Semangat No. 45, 6 November: 25—26.
Prabowo, Dhanu
Priyo. 2004. “Konstelasi Donyane Wong Culika dalam Dunia Penerbitan Sastra
Jawa: Sebuah Keneranian Suparto Brata”. Makalah
pada Peluncuran Buku Donyane Wong Culika Karya Suparto Brata dan Diskusi
Sastra Jawa. CCCL, Surabaya 13 Oktober.
Purwadi. 2010. “Ajaran
Filsafat Jawa“. http://tunggakjarakmrajak.blogspot.com/2010/05/ajaran-filsafat-jawa.html. Akses 8 September 2010.
Rakow, L. &
K. Kranich. 1991. ”Woman as Sign in Television
News”. Journal of Communication 41(1):
8—23.
Ras, J.J. 1985.
“Sastra dalam Masyarakat Jawa”. Pendahuluan dalam Sastra Jawa Mutakhir.
Hal. 1—8. Hersri (Terj.). Jakarta: PT
Grafitipers & Perwakilan KITLV.
Skilleas, Ole Martin. 2001. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh
Univ Press.
YOGA PADA PANCATANTRA INDIA DAN
KALADESA PADA TANTRI KAMANDAKA JAWA
KUNO:
KAJIAN SASTRA BANDINGAN
Ambar Andayani
Fakultas
Sastra, University 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstract
Indian Pancatantra is
the archetype of Old Javanese Tantri
Kamandaka, Laos Tantrai and Siam Tanthai. This research wants to compare
between Pancatantra and Tantri Kamandaka which comes from two
different countries in the same continent, Asia, and from different periods
(200 BC and 1200’s). This comparative literary study shows that they produce
local colors. These local colors are analyzed with Thompson’s motif and
Riffaterre’s semiotic which is conducted by heuristic and hermeneutic levels.
Through the applications of interpretation and interdisciplinary literature,
the symbols found in the folktales are explained. The comparison of both fables
achieves the authentic meanings, “A Louse and A Bug” in Indian Pancatantra modifies Yoga and “A Louse
and A Bug” in Old Javanese Tantri
Kamandaka tells about Kaladesa. Finally the transformation from yoga into kaladesa is investigated with the concept of acculturation.
Key Words:
comparative literature, motif, symbol, yoga, kaladesa
Hubungan India
dan Indonesia dapat
dibuktikan dengan perkembangan karya-karya sastra kuno di Jawa, Bali, Madura, Kalimantan , dan lainnya. Ini menunjukkan adanya difusi
kebudayaan yang diikuti kontak budaya. Kontak budaya ini mendorong
berlangsungnya akulturasi dalam berbagai corak penerimaan budaya asing
(Koentjaraningrat, 1958). Menurut arkeolog Brandes (2007[1887]), penduduk yang
tinggal di kawasan Asia Tenggara telah mempunyai beragam kepandaian, antara
lain membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di
dinding goa, mengenal instrumen musik atau gamelan, mengenal tradisi lisan atau
bentuk-bentuk metrik, dan mempraktikkan pranata sosial sederhana.
Kepercayaan yang dianut oleh berbagai suku di Indonesia
di masa lalu adalah animisme, yakni kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan
mahluk halus yang menempati alam sekitar. Sistem kepercayaan itu menyebabkan
adanya aktivitas menghormati atau memuja roh atau mahluk halus dengan cara
berdoa, memberi sesaji atau persembahan. Hal ini dapat berlanjut pada
kepercayaan animatisme, yaitu keyakinan bahwa benda-benda atau tumbuhan di
sekeliling manusia itu berjiwa dan bisa berpikir seperti manusia, serta
berkekuatan gaib (Melalatoa, 1989: 109).
Sistem
kepercayaan suatu bangsa tergambar dalam karya sastranya, termasuk di dalmnya
tradisi lisan (sastra lisan). Sementara, kebudayaan merupakan suatu sistem
konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi
sarana manusia untuk menyampaikan pengetahuan serta sikap-sikap mereka terhadap
hidup (Dillistone, 1986: 116). Maka, kepercayaan suatu masyarakat juga
diungkapkan dalam bentuk simbolis. Dalam hal ini, Riffaterre (1978) mengatakan
bahwa sebuah teks berisi ketidaklangsungan makna—berarti simbolis juga.
Pengkajian folklor modern mengutamakan kedudukan
yang sama terdapat pada folk
(masyarakat pemilik tradisi) dan lor
(tradisi), sehingga pengumpulan folk
dan lor mutlak dilakukan
bersama-sama. Konsep ini didukung oleh Dundes yang mengemukan bahwa folklor
adalah cermin dari budaya masyarakatnya ….. folklore
is a mirror of culture (Dundes, 1980: 10). Berkaitan dengan hal itu, motif
yang telah dikumpulkan oleh Thompson (1966) dari dongeng-dongeng seluruh dunia
merupakan elemen terkecil yang mengandung kekuatan mempertahankan tradisi (motif is the smallest element in a tale
having a power to persist in tradition) (Thompson 1966: 415).
Tulisan ini bermaksud
membandingkan dua buah folklor dari India dan Jawa, yaitu dongeng “Tinggi dan
Tuma” pada Pancatantra India dan
“Kutu dan Kepinding” pada Tantri
Kamandaka Jawa Kuno. Pancatantra adalah
induk dari Tantri Kamandaka, (Hooykaas,
1929: 57). Akan tetapi, perbedaan waktu dan tempat asal yang sangat berjauhan,
antara Pancatantra (200 SM) dari India
dan Tantri Kamandaka (1200-an) dari
Jawa terdapat perbedaan mendasar, misalnya dalam kandungan nilai-nilai sistem
kepercayaan yang dikandung masing-masing. Menurut Riffaterre (1978: 1), teks
sastra selalu mengalami evolusi yang lebih lanjut ditentukan oleh konsep
estetis yang berlaku, …. dictated by the
evolution of taste and by continually changing esthetic concepts.
Pembahasan dalam tulisan
ini menerapkan konsep sastra interdisipliner yang mengkaitkan sastra dengan
ilmu-ilmu lain seperti sejarah, geografi, budaya, dan agama. Dalam hubungannya
dengan ini, menurut Weisstein (1973: 23), sastra bandingan merupakan studi sastra
di luar batas-batas sebuah negara, dan studi hubungan antara sastra pada satu
sisi dan bidang-bidang kajian yang lain (kepercayaan, seni, filsafat, sejarah,
ilmu sosial, agama) di lain sisi. Adapun
yang menjadi titik pembanding adalah sistem kepercayaan yoga pada Pancatantra India dan sistem kaladesa pada Tantri Kamandaka Jawa
Kuno.
Alphonso (1971) menggambarkan perjalanan persebaran dongeng Pancatantra yang berinduk cerita Jataka
(400 SM) berbahasa Pali. Kumpulan
fabel tertua di India, Jataka, terdiri
atas 547 cerita binatang. Jataka,
yang terdapat di dalam kitab suci agama Budha, Tripitaka, berisi
ajaran-ajaran Budha (Brown, 1981b; 1981c). Kemudian, dengan berkembangnya
bahasa Sansekerta di India Utara, kumpulan fabel tersebut berkembang lebih
lanjut hingga muncul cerita Pancatantra
pada tahun 200 SM. Sejarah sastra klasik India berawal dari sastra besar
Sanskerta yang menurunkan sastra Prakrit dan sastra Pali. Sastra Prakrit dan
sastra Pali menggunakan bahasa rakyat sehari-hari. Sastra Prakrit langsung berhubungan
dengan Sanskerta yang sebagian merupakan sastra Jain, sedangkan sastra Pali
khusus mengenai Budha. (Brown,
1981: 923).
Tantri Kamandaka merupakan salah satu dari ratusan karya sastra
kuno Nusantara yang ditulis kira-kira tahun 1200-an (Hooykaas, 1929). Berawal
dari cerita rakyat yang tidak tertulis (oral
tradition), cerita Tantri di Jawa
menempati posisi paling unik di antara cerita–cerita Tantri di Asia Tenggara. Menurut Totton (2003), bagi sebagian masyarakat Jawa Tengah, cerita Tantri dianggap sakral. Tokoh-tokoh
binatang dalam cerita Tantri ditemukan
pada relief Candi Lorojonggrang.
Jadi dapat ditafsirkan cerita rakyat Tantri yang telah berkembang secara
lisan akhirnya diabadikan dalam tulisan sehingga pada masa pemerintahan
kerajaan Majapahit melahirkan karya sastra Kunjarakarna,
Lubdhaka, Tantri Kamandaka. Tantri
Kamandaka ditulis dalam bahasa Jawa Kuno berbentuk prosa Jawa Tengahan
terdiri dari 90 cerita yang ditulis dalam empat kitab: Nandakaprakarana, Paksiprakarana, Mandukaprakarana, dan Pisacaprakarana. Bentuk prosa yang
terdiri dari 4 kitab tersebut diturunkan dari karya sastra cerita berbingkai
India, Pancatantra (200 SM), yang
terdiri dari lima kitab: Perselisihan
di antara Sahabat, Mendapatkan Teman, Gagak dan Burung Hantu, Kehilangan
Keuntungan, Tindakan Tanpa Pertimbangan.
METODOLOGI
Produksi sebuah teks
bersifat sangat kompleks, tidak cukup diteliti pada tingkat mimetik tetapi juga
pada tingkat makna yang lebih tinggi untuk menemukan makna autentik. Riffaterre mengemukakan teori semiotik
yang dilakukan dalam dua tahap: heuristik dan hermeneutik (Riffaterre, 1978:
5). Dalam hal ini diskusi makna teks tahap pertama dikaitkan dengan konvensi
bahasa dan sastra, dan selanjutnya tahap kedua dikaitkan dengan konvensi budaya
serta sosial.
Makna simbol harus berada dalam kesadaran
tiap-tiap individu suatu kolektif. Hanya simbol demikian yang layak dipersepsi
sebagai simbol yang bermakna (Mulyana, 2001). Aplikasi interpretasi tersebut
adalah konsep hermeneutik dengan maksud interpretasi yang bersifat sosial
historis terhadap teks apa pun (Dilthey) (Poespoprodjo, 1987).
Data yang akan dikomparasikan dalam penelitian ini
bersumber dari dongeng fabel “Kutu dan Kepinding” dalam Pancatantra dan fabel “Kutu dan Kepinding” dalam Tantri Kamandaka.
ANALISIS DAN HASIL
Perbandingan berikut mengungkapkan deskripsi komparasi dongeng “Kutu dan
Kepinding” dalam Pancatantra dan
“Kutu dan Kepinding” dalam Tantri
Kamandaka. Meskipun kedua
fabel mempunyai isi cerita yang sama, namun ditemukan perubahan pada turunannya. Transformasi yang terjadi adalah
proses metamorfosis yang dapat ditelusuri dengan perspektif historis-geografis
(Dundes (1980a: 45), pada dasarnya pendekatan tersebut membantu studi
perbandingan dengan mengungkapkan dimensi waktu dan tempat pada sumber data
yang diteliti.
“Tinggi dan Tuma” dalam Pancatantra
ASPEK
|
DESKRIPSI
|
Tempat
|
Istana
kerajaan
|
Nama
& Istilah
|
Mandavisarpini,
Agnimukha
|
Isi
Cerita
|
Tinggi
yang kurus bertempat di celah dinding mencoba bersahabat dengan tuma gemuk
yang tinggal di tilam raja. Tinggi yang ingin gemuk seperti tuma tidak
menuruti nasihat tuma untuk menahan nafsu pada saat ingin menghisap darah
raja. Akhirnya tidak hanya tinggi yang mati tetapi tuma bahkan mati lebih
dulu oleh pengawal raja.
|
Motif
|
Q338.
Immoderate request punished. Irish
myth: Cross; Jewish: Neuman;
|
“
Kutu dan Kepinding” dalam Tantri Kamandaka
ASPEK
|
DESKRIPSI
|
Tempat
|
tempat
peraduan
|
Nama
& Istilah
|
Sambada,
Asada, Candila, Kaladesa
|
Isi
Cerita
|
|
Motif
|
Q338. Immoderate
request punished. Irish myth:
Cross; Jewish: Neuman;
|
Perbedaan mendasar diantara kedua cerita yang
dapat mencerminkan budaya bangsa India Kuno dan Jawa Kuno dapat didiskusikan
dari tabel perbandingan kedua cerita.
“Tinggi dan Tuma”
Pancatantra
|
“Kutu dan Kepinding”
Tantri Kamandaka
|
Q338.
Immoderate request punished.
permintaan berlebihan akan mendapat
hukuman.
|
Q338.
Immoderate request punished
permintaan
berlebihan akan mendapat
hukuman.
|
Yoga
‘sikap mengekang atau
mengendalikan
hawa nafsu’
|
kaladesa, desa ‘tempat’, kala ‘waktu’
… aku tidak menuruti hawa nafsu
karena tidak ada kesempatan yang baik.
|
Dongeng “Tinggi dan Tuma”
dalam Pancatantra mempunyai motif
yang sama dengan “Kutu dan Kepinding” dalam Tantri
Kamandaka, yaitu Q338: permintaan yang berlebihan akan mendapat hukuman. Motif
tersebut diperoleh dari klasifikasi motif Thompson (1966). Motif ini merupakan
simbol yoga yang selanjutnya
diuraikan pada pembahasan. Sementara pada Tantri
Kamandaka Jawa Kuno yang berkedudukan sebagai turunan dari induknya,
mempunyai pandangan berbeda sehingga muncul kaladesa
yang sesuai dengan sikap hidupnya. Kaladesa menjadi corak tersendiri yang
merupakan warna lokal dalam Tantri
Kamandaka Jawa Kuno dan Yoga menjadi warna lokal dalam Pancatantra India .
Motif hukuman terhadap keinginan berlebihan sebenarnya merupakan motif
yang sering muncul dalam dongeng Pancatantra
dan Tantri Kamandaka, yang terdapat dalam
tiga cerita: (1) kepinding yang dinasehati kutu untuk bisa menahan nafsu
tetapi kepinding tidak menurutinya; (2) tiga ikan bersaudara, adik yang tidak
mau pergi menuruti nasehat kakaknya untuk melarikan diri sebelum ditangkap
nelayan; (3) burung rawa-rawa jantan yang ingin melawan laut karena telurnya dihanyutkan.
Dari motif tersebut diperoleh pesan moral untuk bertindak bijaksana dengan menahan
nafsu terhadap keinginan berlebihan, karena keinginan berlebihan pasti
mendatangkan celaka.
Pesan untuk selalu menahan nafsu berlebihan memang sesuai dengan tema
utama dari Pancatantra dan Tantri Kamandaka tentang tindakan
bijaksana bagi seorang pemimpin (Nitisastra
atau Hastabrata terdapat pada
permulaan cerita Pancatantra. Prinsip
selalu menahan nafsu, permintaan berlebihan akan mendatangkan celaka
mengarahkan manusia untuk waspada dan tidak boleh lalai dalam hidup. Konsep ini sejalan dengan filsafat yoga yang mempunyai arti mengekang nafsu
dan mengontrol pikiran. Seperti terjadi pada setiap manusia yang mempunyai
tujuan dalam hidup supaya selalu menuju ke arah yang positif, teknik meditasi
dalam yoga bertujuan supaya jiwa tidak diganggu dalam pencapaian realisasi
diri. (cf. Somvir, 2007)
Yoga termasuk dalam
filsafat kuno Hindu disebut darsana yang
merupakan perkembangan spekulasi metafisika pada Kitab Veda yang terdiri dari (1) pūrwa
atau karma; (2) Uttara Mīmāmsa, akhir dari kitab Veda; (3) nyānya, metode logika; (4) Vaisesika,
filsafat atomisme; (5) Sāmkhya,
analisis alam; (6) yoga, teknik
meditasi (Brown, 1981: 211). Ajaran yoga mengakui Tuhan yang berbeda
dari atman (jiwa) dan menitikberatkan
sikap-sikap meditasi untuk mencapai realisasi diri. (cf. Coomaraswamy, 1985).
Aliran yoga adalah warna lokal pada Pancatantra
dimana secara geografis karya sastra itu lahir di India sebagai tempat asal agama
Hindu. Persebaran aliran yoga dalam hal ini terjadi melalui proses migrasi dari
India yang akhirnya sampai
ke Indonesia
(Jawa), salah satunya melalui dongeng Tantri
Kamandaka. Dari kenyataan yang menunjukkan bahwa masyarakat Jawa telah
mempunyai kebudayaan asli sebelum masuknya pengaruh Hindu- termasuk yoga, maka
terjadi metamorfosis yang melahirkan bentuk lain berupa kaladesa.
Alam Jawa yang terkenal dengan
kesuburan dan keindahannya seperti tertera pada prasasti Canggal (654 Saka) di
Kedu Jawa Tengah, serta kepandaian berupa macam-macam kesenian: wayang, logam,
gamelan, batik, lisan-metrik dan sistim barter, astronomi, navigasi, pertanian,
pranata sosial sederhana; keseluruhan karakter asli Indonesia merupakan pendukung
terciptanya konsep kaladesa.
Kaladesa adalah warna lokal
Jawa dalam Tantri Kamandaka Jawa
Kuno. Konsep kaladesa seperti terdapat dalam Tantri Kamandaka: Desa
berarti ‘tempat’, maksudnya: aku tidak
meninggalkan tempat, Kala artinya
‘waktu’ … aku tidak menuruti hawa nafsu yang disebabkan karena tidak ada
kesempatan yang baik. Hal in bermakna “tindakan yang menyesuaikan dengan waktu
dan tempat”, mencerminkan sikap hidup yang selalu memandang situasi dan
kondisi, di mana, dan kapan hal itu terjadi (Pendit, 1989; cf. Wilson, & Ferris, 2007). Konsep ini menganggap bahwa segala sesuatu
bersifat relatif, tidak ada hal yang pasti. Di sini tampak kuatnya prinsip relativisme kebudayaan.
Konsep Kaladesa yang menekankan pertimbangan waktu serta tempat dalam
segala tindakan yang akan dilakukan (Titib, 1996), pada masyarakat Jawa tampak
dari norma-norma yang selalu membatasi perilaku. Segala perbuatan harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, adanya tata krama menurut adat dan
budaya setempat. Hal ini dalam budaya Jawa dikenal sebagai konsep empan papan (Mulder, 1985: 109). Konsep
kaladesa yang lebih populer dalam masyarakat Jawa dengan nama empan papan ini adalah pengejawantahan
yang tercipta dari sistim ide dalam masyarakat Jawa Kuno.
Kaladesa sebagai transformasi
dari yoga mengalami modifikasi yang dapat diuraikan melalui konsep penerimaan
budaya asing (Koentjaraningrat, 1958: 449—450). Beberapa prinsip yang dapat
diketengahkan untuk menelusuri transformasi ini adalah: prinsip fungsi,
menganggap suatu unsur tak akan mudah hilang apabila unsur itu mempunyai fungsi
penting; prinsip guna yang beranggapan suatu unsur baru akan mudah diterima
apabila unsur-unsur itu mempunyai guna yang besar bagi masyarakat. Proses
tersebut dapat dijelaskan dari peristiwa akulturasi Jawa-India. Agama Hindu
yang dibawa oleh bangsa India ke kepulauan Nusantara sejak ratusan tahun yang
lalu diterima sebagai pandangan yang sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia.
Kepercayaan animisme, memuja roh dan mahluk halus dengan cara berdoa dan
memberi persembahan, telah dihayati oleh masyarakat Jawa sejak dulu.
Agama Hindu yang meyakini
adanya dewa-dewa yang mempunyai kesaktian dan hidup di alam sekitar sangat
sesuai dengan animisme, karena kedua kepercayaan tersebut sama-sama memuja
kekuatan alam yang berasal dari mahluk halus maupun dewa-dewa. Perbedaan antara
agama Hindu dan kepercayaan animisme terletak pada manifestasi dewa-dewa dengan
kesaktiannya masing-masing. Sehingga prinsip guna dalam proses penerimaan
budaya asing berlaku, dalam hal ini manifestasi dewa-dewa pada roh-roh yang
diyakini sebelumnya mempunyai konsep yang lebih konkret bila dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Akhirnya makna yoga sebagai bagian dari agama Hindu,
yang maksudnya mengekang hawa nafsu dan mengontrol diri (Somvir, 2007) diterima
oleh masyarakat Jawa Kuno.
Akan tetapi proses penyatuan
konsep Hindu yoga dengan realita kehidupan sehari-hari mengalami metamorfosis
kembali yang berwujud lain seperti yang terungkap dalam Tantri Kamandaka. Principle of early learning, menganggap
unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari paling dahulu akan paling sukar diganti
oleh unsur-unsur kebudayaan asing, dapat menerangkan munculnya kaladesa.
Pembahasan mengenai hal ini perlu dikaitkan dengan unsur-unsur kebudayaan asli
Nusantara.
Macam-macam kesenian seperti
wayang, logam, gamelan, batik, lisan-metrik, ekonomi barter, astronomi,
navigasi, pertanian dan pranata sosial sederhana menunjukkan kekayaan budaya
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Kuno. Kekayaan budaya dan pengetahuan
seperti astronomi dan navigasi membuktikan bahwa masyarakat Jawa Kuno sangat
menghormati alam. Dalam pengetahuan astronomi dan navigasi, alam dengan
berbagai unsurnya mempunyai karakter di mana masing-masing membawa karakter
yang berbeda satu sama lain.
Kaladesa yang terdiri atas kala berarti waktu dan desa bermakna tempat, meyakini bahwa
unsur waktu dan tempat sangat berperan sehingga mempunyai pengaruh yang besar
dalam sikap hidup dan pandangan hidup sehari-hari. Berpangkal dari sikap pengontrolan diri dan
pengekangan hawa nafsu, yang diperkaya dengan pengetahuan alam jagat raya
berupa perbintangan dan kelautan, memberikan keyakinan bagi masyarakat Jawa
untuk tidak terburu nafsu dalam bertindak. (cf. Zoetmulder, & Robson,
1982).
Pengetahuan astronomi dan
navigasi menunjukkan pemikiran yang tajam terhadap alam sekitar, sehingga
masyarakat Jawa Kuno berprinsip untuk selalu bertindak sesuai dengan waktu dan
tempat. Waktu atau masa yang berbeda akan membawa kondisi dan kebutuhan yang
berbeda, tempat yang berbeda juga akan mempunyai keadaan dan karakter yang
berbeda pula (cf. Wilson, & Ferris,
2007). Sehingga pandangan dan
sikap hidup masyarakat Jawa Kuno pun selalu dipengaruhi oleh waktu di masa ia
berada dan tempat di mana ia berada.
Apa pun hasil perbandingan
keduanya tidak dapat menghapus fakta bahwa kedua bangsa sudah sangat lama
berkomunikasi dalam hal sosial, budaya, dan agama. Hal ini, bahkan jauh sebelum memasuki Jawa
pun, Pancatantra juga sudah mengalami
transformasi seiring dengan waktu dan tempat. Alphonso (1971) menggambarkan perjalanan persebaran dongeng Pancatantra yang berinduk cerita Jataka
(400 SM) berbahasa Pali. Kumpulan fabel tertua di India, Jataka, terdiri atas 547 cerita
binatang. Jataka, yang terdapat di
dalam kitab suci agama Budha, Tripitaka, berisi ajaran-ajaran Budha (Brown,
1981). Kemudian, dengan berkembangnya bahasa Sansekerta di India Utara,
kumpulan fabel tersebut berkembang lebih lanjut hingga muncul cerita Pancatantra pada tahun 200 SM. Sejarah
sastra klasik India berawal dari sastra besar Sanskerta yang menurunkan sastra
Prakrit dan sastra Pali. Sastra Prakrit dan sastra Pali menggunakan bahasa
rakyat sehari-hari. Sastra Prakrit langsung berhubungan dengan Sanskerta yang
sebagian merupakan sastra Jain, sedangkan sastra Pali khusus mengenai Budha.
(Brown, 1981: 923). Di sini tergambar bahwa memang sepanjang perjalanannya,
Pancatantra senantiasa bersangkut pauh dengan kepercayaan/agama.
Tantri Kamandaka Jawa
Kuno pun tidak jauh berbeda. Sebagai salah satu dari ratusan karya sastra kuno
Nusantara yang ditulis kira-kira tahun 1200-an (Hooykaas, 1929), Tantri Kamandaka berawal dari cerita
rakyat yang tidak tertulis (oral
tradition), yang di Jawa
menempati posisi paling unik di antara cerita–cerita Tantri di Asia Tenggara. Menurut Totton (2003), bagi sebagian
masyarakat Jawa Tengah, cerita Tantri
dianggap sakral. Tokoh-tokoh binatang dalam cerita Tantri ditemukan pada relief Candi Lorojonggrang. Candi—bagi
masyarakat Jawa Kuno—erat sebagai tempat pemujaan dan menyimpan abu jenazah
raja. Lagi-lagi, di sini tergambar hal-hal yang bersangkut paut dengan kepercayaan.
Cerita rakyat Tantri
yang telah berkembang secara lisan akhirnya diabadikan dalam tulisan pada
masa Kerajaan Majapahit. Masa-masa ini melahirkan karya sastra Kunjarakarna, Lubdhaka, Tantri Kamandaka, dll.
Tantri Kamandaka ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno berbentuk prosa Jawa Tengahan terdiri dari 90 cerita yang ditulis
dalam empat kitab: Nandakaprakarana,
Paksiprakarana, Mandukaprakarana, dan Pisacaprakarana.
Bentuk prosa yang terdiri dari 4 kitab tersebut diturunkan dari karya sastra
cerita berbingkai India, Pancatantra (200
SM), yang terdiri dari 5 kitab: Perselisihan
di antara Sahabat, Mendapatkan Teman, Gagak dan Burung Hantu, Kehilangan
Keuntungan, Tindakan Tanpa Pertimbangan. Keduanya dominan dengan
warna local masing-masing. Kedua kumpulan dongeng berbingkai tersebut sarat
dengan ajaran moral serta nilai kepercayaan religi masyarakatnya masing-masing.
Warna lokal Pancatantra didominasi oleh nilai-nilai kepercayaan yoga, sedang Tantri Kamandaka kuat dicoraki oleh
nilai-nilai kaladesa
PENUTUP
Pancatantra adalah kumpulan dongeng yang berasal dari India,
sedangkan Tantri Kamandaka Jawa Kuno
berasal dari Jawa. Kedua folklor
tersebut mempunyai hubungan dekat sebagai induk dengan turunannya yang
mencerminkan warna lokal sesuai dengan pandangan hidup masyarakatnya
masing-masing. Pancatantra yang merupakan induk dari Tantri Kamandaka, mengandung warna lokal yang menggambarkan
karakter bangsa India, yakni yoga. Sedangkan Tantri Kamandaka sebagai turunannya, melukiskan sikap hidup Jawa
yang tercermin dalam warna lokalnya, yakni kaladesa.
Dengan
perbandingan Pancatantra (200 SM) dan
Tantri Kamandaka (1200’s) ditemukan
motif Q338. orang yang permintaannya
berlebihan akan mendapat hukuman sesuai klasifikasi motif dongeng seluruh
dunia yang telah dikumpulkan oleh Thompson (1966). Kedua dongeng tersebut
berjudul serupa dan motif yang sama, tetapi terjadi perubahan pada Tantri Kamandaka. Perubahan itu berupa
transformasi yang ditelusuri dengan semiotik Riffaterre dengan melakukan tahap
heuristik dan tahap hermeneutik. Kajian sastra bandingan ini menemukan
simbol-simbol, dimana dongeng “Tinggi dan Tuma” dalam Pancatantra India merangkan Yoga dan dongeng “Kutu dan Kepinding”
dalam Tantri Kamandaka Jawa Kuno
menjelaskan Kaladesa. Transformasi dari yoga
menjadi kaladesa diselidiki dengan
konsep akulturasi, dan diketemukan adanya prinsip guna dan prinsip fungsi dalam proses penerimaan budaya
asing (Koentjaraningrat, 1958).
REFERENSI
Alphonso-Karkala, J.B. 1987. An Anthology
of Indian Literature. New Delhi: Penguin Book.
Brandes, J.L.A. 2007 [1887]. “Een Jayapattra
of Acte van Eene Rechterlijke Uitspraak van Saka 849”. http://www.arkeologi.net/ index1.php?id=view_news&ct_news=608
Brown, W.N. 1981. “Hindusm”. The Encyclopedia Americana. Vol. 14.
International Edition. Connecticut: Grolier Incorporated. Page 207—214.
Coomaraswamy, A.K. 1985. History of Indian and Indonesian Art.
New York: Dover Publications, Inc.
Darmayasa,
M. 1998. Pancatantra Buku Pertama:
Perselisihan di antara Sahabat. Denpasar: Manik Geni.
Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. London: SCM Press Ltd.
Dundes, A. 1980. Interpreting Folklore.
Bloomington: Indiana Univ. Press.
Dundes, A. 1980a. “Ways of
Studying Folklore”. Hal. 41—52 dalam T. Coffin, III (ed.), American Folklore.
Washington DC: Voice of America Forum Series.
Hooykaas, C. 1929. Tantri, de
Middel-Javaansche Pancatantra-Bewerking. Leiden: A. Vros.
Jupriono, D. 200.
“Revitalisasi Tradisi Lisan dalam Era Kelisanan Sekunder”. Humanika 4(2) Desember.
Koentjaraningrat.
1958. Metode Anthropologi dalam
Penjelidikan Masjarakat dan Kebudajaan di Indonesia. Djakarta: Penerbitan Universitas.
Mardiwarsito,
L. 1983. Tantri Kamandaka: Naskah dan
Terjemahan dengan Glosarium. Ende-Flores: Nusa Indah.
Melalatoa,
M.J. 1989. ”Animatisme, Animisme”. Ensiklopedi
Nasional Indonesia 2: 108-110. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Mulder,
N. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa.
Jakarta: Sinar Harapan.
Mulyana D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Pendit,
N.S. 1989. “Desa Kala Patra”. Ensiklopedi
Nasional Indonesia. Jilid 4: 309. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
Poespoprodjo,
W. 1987. Interpretasi: Beberapa Catatan
Pendekatan Filsafatinya. Bandung:
Remadja Karya.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington:
Indiana Univ. Press.
Somvir. 2007. Mari Beryoga. Denpasar: Empat Warna.
Thompson, S. 1966. Motif-Index
of Literature: A Classification of Narative Elements in Folktales, Ballads,
Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exempla, Fabliaux, Jest-Books, and Local
Legends. Volume 1—6. Bloomington: Indiana Univ. Press.
Titib, I M. 1996. Bhagavan
Vedah Sang Hyang Weda: Veda Sabda Suci. Surabaya: Paramita.
Totton, M.L. 2003. “Narrating Animals on the Screen of the World—Critical
Essay”. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0422/is_1_85/ai_99695
Vishnu-Sharma. 1987. “Pancha-Tantra” Five Treaties. Page
285—306 in J.B. Alphonso-Karkala (ed.), An Anthology of Indian Literature.
New Delhi: ICCR-Penguin Book.
Weisstein, U. 1973. Comparative
Literature and Literary Theory: Survey and Introduction. Terj. W. Riggan.
Bloomington: Indiana Univ. Press.
Wilson, C.R. & W. Ferris.
2007. “Local Color Era”. http://docsouth.unc.edu/southlit/local
color
DAMPAK PARADIGMA DESKRIPTIF DAN PARADIGMA KRITIS DALAM PENGAJARAN
LINGUISTIK TERHADAP KARAKTER MAHASISWA*
D. Jupriono
Fakultas
Sastra, University 17 Agustus 1945 Surabaya
Abstract
For more than
50 years the linguistic teaching in Indonesia has been dominated with
descriptive paradigm, which merely focuses on linguistic system or even only
grammar. Descriptive paradigm indeed places language as an object which is
autonomous, neutral, and isolated from society. Next, what are the
characteristics of descriptive paradigm in linguistic teaching? How is the
impact toward student character building? What paradigm which is capable to
handle the lacks caused by descriptive paradigm implementation? If the critical
paradigm linguistic is considered better, what are the characteristics? How is
the impact of critical paradigm implementation in linguistic teaching toward student
character? The discussion is on the qualitative-critical approach. The design
applied to study the impact of descriptive and critical paradigm in linguistic
teaching toward student character is critical discourse analysis (CDA). The
data source of this study is the linguistic lecture praxis and linguistic
references in Indonesia. Then the data analysis steps are as follows:
description, interpretation, and explanation.
Finally it
comes to the findings. First, descriptive paradigm in linguistic teaching
blunts student awareness to social problems; descriptive paradigm will only
bear students which have character of selfish, apathetic, and no responsibility
to social problems. Secondly, to build student character which cares of society
and has critical awareness, linguistic teaching should have critical paradigm.
With critical paradigm, linguistic lectures will lift up actual discourse texts
of social problems (unfairness, lameness, relation of domination-subordination
between groups, etc.).
Key words: linguistic teaching,
descriptive paradigm, critical paradigm,
critical
discourse analysis, student character
Salah satu kalimat yang dari bangku SD hingga
perguruan tinggi, sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, tetap terdengar adalah
Amir memukul anjing di halaman. atau
pasifnya Anjing dipukul Amir di halaman.
Proses pembelajaran berikutnya lazimnya adalah menentukan fungsi kalimat -- subjek
(S), predikat (P), objek (O), keterangan (K) -- dan ketransitifannya. Di
perguruan tinggi, khususnya fakultas sastra, FPBS, FKIP, dan FIB, pembelajaran akan dilanjutkan ke
analisis kategori kata pengisi fungsi-fungsi tersebut, misalnya Amir, anjing, halaman, rumah nomina, memukul dan dipukul verba, di
preposisi, serta analisis peran, misalnya Amir
pelaku/agentif, memukul
tindakan/aktif, anjing
penderta/objektif, di halaman
tempat/lokatif. Karena analisis fungsi-kategori-peran, buku ”klasik bangkotan” Pengantar Lingguistik Verhaar (1977)
menjadi semacam resep wajib.
Ketika di dalam kelas mahasiswa asyik, sibuk, pusing
menentukan fungsi-kategori-peran kalimat, di luar kelas terbentang realitas
yang amat berbeda: ketidakadilan, ketimpangan sosial, korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN), terorisme, KDRT, dsb. Di tengah-tengah masyarakat yang
multiproblem rumit seperti ini, kontribusi apakah yang sanggup diberikan oleh
pengajaran linguistik yang masih berkutat ke soal SPOK, aktif-pasif,
nomina-verba, dan semacamnya? Sanggupkah pengajaran linguistik semacam itu
menggugah kesadarkan kritis mahasiswa untuk peduli terhadap masalah-masalah
bangsanya? Kepedulian macam apakah yang muncul setelah mahasiswa Prodi Bahasa
dan Sastra Indonesia
(misal) menuntaskan belajar Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia (Alwi et al., 1993)? Apa yang salah dengan pengajaran
linguistik yang sudah berlangsung puluhan tahun ini?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan diangkat dalam
makalah ini. Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada paradigma deskriptif
(semacam analisis fungsi, kategori, peran sintaktis di muka) dan paradigma
kritis dalam pengajaran linguistik, lalu dikaitkan dengan kontribusi kedua
paradigma bagi pembentukan karakter mahasiswa.
PARADIGMA DESKRIPTIF DALAM PENGAJARAN LINGUISTIK
Paradigma
deskriptif mendominasi pengajaran linguistik di Indonesia selama ini. Saat
mahasiswa belajar Pengantar Linguistik, Morfologi, Sintaksis, Semantik,
Analisis Wacana, dan Sosiolinguistik di bangku kuliah, misalnya, kata deskriptif tidak selalu tercantum.
Meskipun demikian, sesungguhnya semua disiplin tersebut berparadigma
deskriptif.
Dalam paradigma deskriptif bahasa dipandang sebagai
sesuatu yang netral, bebas dari kepentingan, steril dari manipulasi, bersih
dari relasi dominasi-subordinasi. Bahasa dikaji sebagai sistem simbol bunyi
yang arbitrer-konvensional (Sapir, 1921). Bahasa dipisahkan dari relasinya dengan
konteks sosial dalam komunikasi. Bahasa, dengan demikian, seakan dicomot dari
masyarakat pemakainya, lalu dibedah-bedah di meja analisis, dan akhirnya
dideskripsikan ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantisnya (cf.
Bloomfield, 1939). Bagaimana bahasa itu berfungsi dalam pemakaian, dalam
paradigma deskriptif, tidak atau kurang diberi tempat (van Dijk, 2002).
Pengajaran linguistik cenderung ke arah teori tata bahasa (theory of grammar) semata (Santoso, 2000; Thurlow, 2007).
Salah satu gerakan linguistik yang amat menonjol,
Strukturalisme, memandang bahwa hal terpenting dalam kajian bahasa adalah
relasi antarunsur serta satu-satunya objek linguistik yang benar adalah sistem
bahasa (langue). (cf. Kridalaksana, 1991); ini amanat “nabi” linguistik
Strukturalisme, Ferdinand de Saussure. Karena sistem bahasa dianggap
utama, ranah lain, yakni praktik penggunaan bahasa (parole), termarginalkan.
Dosen dan mahasiswa fakultas sastra, FIB, FPBS, FBS
merasa bersalah jika tidak mengenal linguistik struktural deskriptivisme dan
linguistik generativisme. Jika linguistik deskriptivisme hendak mendeskripsikan
sistem bahasa berdasarkan kekhasannya (Gleason, 1955), linguistik generativisme
hendak menggambarkan bahasa sebagai kapasitas mental (Chomsky, 1968). Nama-nama
de Saussure, Sapir, Bloomfield, Hockett, Chomsky menjadi demikian
legendarisnya. Sekalipun linguistik transformasi generatif Chomsky lahir
sebagai lawan tanding linguistik deskriptivisme strukturalnya Bloomfiled,
misalnya, sesungguhnya keduanya sama-sama memperlakukan bahasa sebatas sebagai
sistem belaka, yang terlucuti fungsi sosial historisnya (cf. Santoso, 2010).
Keduanya ibarat singa vs harimau di
kerangkeng sempit yang terpisahkan dari hiruk pikuk belantara luas di luarnya.
Contoh
konkret perlu dihadirkan untuk memperjelas pemahaman. Perhatikan (1-8)!
1) Pemerintah secara aktif akan melancarkan
program pemberantasan korupsi.
2) Kepada Kapolri dan Jaksa Agung, saya telah
menginstruksikan supaya menindak tegas bawahannya yang mempermainkan hukum
untuk memperkaya diri sendiri.
3) Segala persoalan bangsa yang rumit ini
tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 100 hari.
4) Penindakan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah dilakukan tanpa pandang bulu.
5) Kita harus
menuntaskan pekerjaan berat memberantas korupsi.
6) Ke depan, langkah-langkah
perbaikan yang telah dilakukan harus diikuti dengan pembenahan pranata hukum
yang lebih sistemik
7) Saya menginstruksikan kepada Polri dan
pihak terkait di jajaran pemerintahan untuk mencari buron lain yang seolah
tidak bisa ditemukan.
(Pidato Presiden SBY, 2004 s.d. 2011)
8) Mekanisme perlindungan terhadap PRT migran Indonesia
sudah berjalan, telah tersedia institusi dan regulasinya (Pidato Sidang ILO, 14
Juni 2011)
Dalam mata
kuliah Sintaksis (Syntax),
kalimat-kalimat ini akan dideskripsikan sbb. Kalimat (1-4), misalnya, adalah kalimat deklaratif dan
kalimat mayor (berunsur lengkap), yang masing-masing berkonstruksi fungsi SKPO,
KSPO, SPK, dan SPK. Kalimat (1) dan (4) merupakan kalimat tunggal yang berturut-turut
terbangun dari 1 klausa, sedang kalimat (2) dan (3) kalimat majemuk bertingkat
(subordinatif) yang masing-masing terbangun dari 4 dan 2 klausa. Kalimat (1) dan (2) adalah kalimat verbal
aktif ekatransitif. Kedua kalimat disebut kalimat verbal karena fungsi
predikatnya (melancarkan,
menginstruksikan) diisi oleh kata yang berkategori verba (verb), disebut kalimat aktif sebab verba
predikatnya berprefiks meN- dan
diikuti oleh objek (program pemberantasan korupsi, upaya menindak
tegas bawahannya), dan juga disebut ekatransitif sebab verba predikat hanya
diikuti oleh objek, tanpa pelengkap. Kalimat (4) merupakan kalimat dasar yang
mengalami transformasi nominalisasi verba (menindak,
bertindak) ke nomina (penindakan).
(cf. Samsuri, 1985).
Kalau
memang mau, deskripsi karakteristik gramatikal ini masih dapat diperpanjang, termasuk
kalimat berikutnya (5-8). Intinya tetap saja: temuan mengenai sistem bahasa
atau, lebih sempit lagi dalam contoh di muka, deskripsi teoretis tata kalimat bahasa
Indonesia.
Penyebutan
sumber data (Pidato Presiden SBY, 2004 s.d. 2011 serta Pidato
Sidang ILO, 14 Juni 2011) tidak diberi arti khusus. Presiden atau seorang sinden, jenderal ataukah
aktor kriminal, sebagai sumber asal kalimat, tidak berdampak dalam telaah
linguistik, tidak diberi arti signifikan (van Dijk,
2002). ”Kalau yang ngomong Pak SBY,
memangnya kenapa?”, begitulah
kira-kira cara pandangnya yang memang bebas konteks, asosial, ahistoris (cf. Thurlow, 2007). Ia --
sumber-sumber ini -- hanya dihargai sebatas sebagai syarat metodologis dan
akurasi data.
Dalam
kuliah Analisis Wacana (Discourse
Analysis) yang berparadigma deskriptif, misalnya, telaah teks difokuskan
pada relasi antarkalimat, kohesi-koherensi, referensi-inferensi, tindak tutur (speech act), praanggapan, dst. (Brown & Yule, 1985). Perhatikan (9).
9)
Kondisi saat ini kembali mengingatkan kita bahwa globalisasi, selain
membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan kita, juga mengandung
resiko-resiko yang perlu terus kita waspadai. Apa yang kita alami
hari ini, juga sedang dialami oleh negara-negara lain di dunia. Kita berharap,
bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh otoritas-otoritas keuangan di negara
maju, dapat segera meredam gejolak ini. Kita di sini, juga melakukan langkah-langkah
antisipatif dengan memperkuat koordinasi kebijakan antara otoritas fiskal dan
otoritas moneter, untuk meningkatkan kesiagaan kita. Saya yakin, dengan
kekuatan fundamental ekonomi dan keuangan kita, cadangan devisa yang telah kita
pupuk selama ini, serta dengan langkah-langkah perkuatan yang kita lakukan, insya
Allah gejolak ini akan dapat kita lewati dengan dampak seminimal mungkin. (Pidato Kenegaraan Presiden, 16-08-2007)
Untuk teks (9), pengajaran
berparadigma deskriptif akan mempersoalkan dan menelaah hal-hal berikut. Relasi kohesi antarkalimat dalam wacana (9)
dijaga dengan memanfaatkan piranti-piranti kohesi berikut: pengulangan kata
yang sama (kita, gejolak), frase
penunjuk (saat ini, hari ini, selama ini),
frase yang berdekatan/bersinonim (langkah-langkah,
langkah antisipatif, langkah perkuatan; otoritas
keuangan, otoritas fiskal, otoritas moneter). Koherensi wacana (9)
terbentuk dengan sendirinya karena kohesi antarkalimat di dalamnya terjamin
(cf. Stubbs, 1983). Karena koherensinya terjaga, pengacuan referensinya juga
jelas, misalnya kita pada seluruh
kalimat pada wacana (9) mengacu pada negara Indonesia, dan bukan negara-negara lain (kalimat kedua), negara maju (kalimat ketiga); resiko (kalimat pertama), gejolak (kalimat ketiga, kelima), dan dampak (kelima) mengacu pada hal yang
sama: dampak globalisasi. Klausa cadangan devisa yang telah kita pupuk selama ini
pada kalimat kelima mempraanggapkan bahwa ‘kita sudah mengumpulkan cadangan di
tahun-tahun sebelumnya’ serta ‘sekarang kita memiliki cadangan devisa’. Dst.
Telaah masih bisa diperpanjang. Akan
tetapi, pembahasan tetap berkutat pada relasi antarkalimat yang membangun
keutuhan wacana (Brown & Yule, 1985) -- tidak lebih. Pertanyaan berikutnya,
kalau relasi tersebut sudah dapat ditemukan, lalu apa? Adakah sangkut paut
hasil analisis tersebut dengan, misalnya, problem-problem konkret yang dihadapi
masyarakat? Jawabnya pastilah ”Tidak!” Meskipun sesungguhnya merupakan jembatan
penghubung antara level tertinggi bahasa di atas kalimat dengan konteks
situasinya (Stubbs, 1983: 10), dalam paradigma deskriptif tetaplah sulit dicari
sangkut paut wacana dengan realitas sosial historis ”di luar” bahasa.
PARADIGMA DESKRIPTIF DAN KARAKTER MAHASISWA
Rincian
pembahasan atas kalimat (1)—(4) memperlihatkan betapa paradigma deskriptif
sangat memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan sistem bahasa sampai
sedalam-dalamnya, serumit-rumitnya (cf. Kridalaksana, 1991; Santoso, 2000;
Verhaar et al., 2004). Hingga sekarang tidak sulit menemukan mahasiswa yang gelagapan
saat ditugasi dosennya untuk menganalisis SPOK atas kalimat Botol ini berisi tinta hitam., Tunjukkan kejantananmu! atau Emang gue pikirin. Pendeknya, paradigma
ini amat serius, tidak sepele, dan juga tidak mudah bagi pemahaman kognitif
mahasiswa.
Meskipun
demikian, tidak bisa dilarang munculnya pertanyaan ”Kalau sudah bisa
menganalisis SPOK-nya, terus ngapain?”
atau munculnya komentar sinis ”Buat apa sih
menentukan SPOK kalimat?”. Penulis akan meneruskan pertanyaan ini ”Adakah
hubungan antara kompetensi mahasiswa untuk menganalisis SPOK di sisi satu
dengan kebohongan pemimpin, kegagalan program pengentasan kemiskinan, korupsi,
di sisi lain?”
Pengajaran
linguistik berparadigma deskriptif dikhawatirkan akan berdampak pada
sikap-sikap yang kurang konstruktif bagi pembangunan karakter mahasiswa sbb.
Pengajaran
linguistik berparadigma deskriptif menyebabkan mahasiswa buta akan persoalan
bangsanya. Ia tidak sempat menemukenali problem-problem sosial konkret
masyarakat sekitar karena lebih disibukkan oleh aktivitas rumit (penelusuran
sistem bahasa, telaah struktur gramatikal) yang amat sedikit -- untuk
menghindari perkataan tidak ada --sangkut pautnya sama sekali dengan
problem-problem tersebut.
Pengajaran
linguistik berparadigma deskriptif menyebabkan mahasiswa menjadi tidak peduli, cuek, atas persoalan serius yang
dihadapi masyarakatnya. Makin rajin, makin menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk mendalami linguistik, mahasiswa akan makin tidak peduli atas
persoalan-persoalan serius yang dihadapi masyarakatnya.
Pengajaran
linguistik berparadigma deskriptif menyebabkan mahasiswa menjadi minder,
diam-diam. Suatu saat, mahasiswa akan sadar betapa disiplin ilmu yang didalami
(linguistik)—yang sangat mungkin tidak diketahuinya berparadigma
deskriptif—ternyata tidak memberikan kontribusi yang jelas bagi kehidupan
pribadi dan masyarakatnya. Ia akan makin minder ketika berhadapan dengan
mahasiswa prodi lain: mahasiswa sosiologi yang bisa bicara soal ketimpangan
sosial dan kerusuhan etnis, mahasiswa ekonomi-manajemen yang sanggup
menganalisis kesalahan pemasaran suatu produk, atau mahasiswa teknik sipil yang
dapat menjelaskan kesalahan konstruksi pembangunan Jembatan Suramadu, dst.
Dalam
kerangka kurikulum berbasis kompetansi, yang berorientasi pada pengembangan
kemampuan melaksanakan tugas dengan standar tertentu (Mukhadis, 2004),
pengajaran linguistik berparadigma deskriptif sulit diharapkan dapat
memfasilitasi mahasiswa untuk dapat melakukan tugas tertentu dalam bentuk
kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan yang bertanggung jawab (Depdiknas,
2002). ”Keberhasilan yang bertanggung jawab” hendaknya dipahami sebagai bentuk
ketulusan dan kesadaran mahasiswa untuk mempertanggungjawabkan hasil karya dan
belajarnya bukan saja kepada diri sendiri, disiplin ilmu yang digeluti, tetapi
lebih dari itu juga kepada masyarakat dan bangsanya. Tanggung jawab tersebut
hendaknya juga dipahami sebagai tanggung jawab mahasiswa sebagai warga negara
terhadap persoalan-persoalan serius (korupsi, konflik rasial, terorisme,
kebohongan pejabat publik, dll.). Tanggung jawab hanya bisa lahir dari
manusia-manusia yang berkarakter. Karakter macam apakah yang dapat ditumbuhkan
dalam nurani mahasiswa jika pengajaran linguistik hanya sibuk mengajarkan Amir memukul anjing di halaman., Ayah
membaca koran di ruang keluarga., Ibu menyiapkan sarapan pagi di dapur,
dll.?
Dalam
kerangka pembangunan karakter bangsa, di tengah situasi penuh korupsi dan
kebohongan para politisi, pengajaran linguistik harus dapat membekali
mahasiswanya agar memiliki kesadaran dan sikap kritis -- jangan malah membutacuekkan
mahasiswa dari persoalan-persoalan bangsanya. Untuk itu, ada dua hal yang perlu
dilakukan sebagai koreksi terhadap kelemahan paradigma deskriptif.
Pertama, bahan ajar sebaiknya diangkat dari wacana lisan dan teks-teks tulis
aktual kontemporer. Kalimat Amir memukul
anjing di halaman. -- yang mengawali Pendahuluan makalah ini -- serta Ayah membaca koran dan ibu menjahit baju,
misalnya, adalah kalimat-kalimat yang sama sekali tidak aktual, sangat ”jadul”
(Saat kelas V SD, penulis sudah dicontohi kalimat ini). Materi pengajaran
linguistik (sintaksis, semantik, analisis wacana, sosisiolinguistik) hendaknya
memanfaatkan wacana aktual macam teks pidato kenegaraan presiden,
pernyataan-pernyataan pro kontra para pejabat di koran, rekaman atas pernyataan
debat politisi di TV, dst. (cf. Jupriono, 2010; 2010a).
Kedua, paradigma linguistik deskriptif hendaknya dilengkapi dengan paradigma
linguistik kritis (critical linguistics).
Paradigma kritis diharapkan dapat mengangkat kepicikan paradigma deskriptif
yang tidak sadar telah puluhan tahun sebagai katak dalam tempurung. Jika
terminologi kajian sastra boleh dipinjam, dapat dikatakan bahwa paradigma
kritis menjadi semacam ”telaah ekstrinsik” yang melengkapi kekurangan paradigma
deskriptif sebagai ”telaah intrinsik”. Bagaimana paradigma kritis -- akan
dibahas berikut ini.
PARADIGMA KRITIS DALAM PENGAJARAN LINGUISTIK
Dalam
statusnya sebagai sama-sama perspektif (perspective),
pandangan dunia (worldview), aliran
mazhab (school of thought), atau
paradigma (paradigm), paradigma
kritis kalah populer dari paradigma deskriptif. Oleh paradigma kritis, paradigma
deskriptif yang hanya mengkaji sistem bahasa dikritisi sebagai kajian yang
asosial dan ahistoris, yang tidak mempersoalkan relasi bahasa dengan konteks
sosiohistorisnya, termasuk ideologi dan kekuasaan (Fairclough, 2008).
Dalam
paradigma kritis bahasa dipandang sebagai sesuatu yang tidak netral, tidak
bebas dari kepentingan, menjadi ajang dan media manipulasi dan kompetisi, selalu
diwarnai relasi dominasi-subordinasi. Bahasa dikaji sebagai media praksis untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan, memperkokoh citra diri, dan menyingkirkan posisi
kelompok lawan. Kajian bahasa senantiasa menjadi kajian atas konteks
sosial-historis (Fowler, 1996; Wodak, 2008).
Karakteristik umum paradigma kritis adalah: (1) pembebasan, membebaskan manusia dari manipulasi
kapitalisme industrial; (2) emansipatoris, tidak hanya menjelaskan,
mendeskripsikan, tetapi juga menggugat status
quo kemapanan (establishment),
mengubah kesadaran dan realitas, tanpa kekerasan; (3) pencerahan, menggugah
kesadaran masyarakat akan kepalsuan ideologi kekuasaan dan kapitalisme, yang
selama ini tampak wajar alamiah, baik-baik saja (Santoso, 2000). Pembaca
dipersilakan melihat kembali uraian deskriptif atas contoh kalimat-kalimat di
muka. Bagian manakah dari kalimat-kalimat tersebut yang berdaya pembebasan,
emansipatoris, dan pencerahan?
Setidaknya ada tiga pokok pikiran linguistik kritis. Pertama, dalam berkomunikasi, bentuk-bentuk bahasa peserta
komunikasi (komunikan, komunikator) tidak secara bebas dipilih, sebab
ditentukan/dipengaruhi oleh kendala-kendala politis, sosial, kultural, dan
ideologis. Kedua, segi-segi ideologis
dan politis tersembunyi dalam pilihan-pilihan bahasa saat digunakan dalam
komunikasi; teks yang diproduksi dalam pemakaian bahasa senantiasa berlumuran
kekuasaan, status, dan kontrol antarkelompok sosial. Ketiga, hakikat kajian linguistik adalah telaah wacana yang selalu
historis; setiap teks dibentuk oleh sebuah proses rumit panjang yang melibatkan
banyak pihak dalam pertarungan sosial. Kajian terhadap bahasa (kalimat, kata,
makna) selalu merupakan kajian wacana yang mengikutsertakan dimensi kritis
(dimensi politis, ideologis, kultural) tentang bagaimana masyarakat dan
institusi menyusun makna melalui teks. (Fowler, 1996; van Dijk, 2001; Santoso
2010; )
Sudahkah
pengajaran linguistik di Indonesia dicoraki oleh ketiga pokok pikiran paradigma
kritis ini? Ada banyakkah topik-topik skripsi mahasiswa dan penelitian dosen di
fakultas sastra, FPBS, FKIP, FIB, yang bersangkut paut dengan ketiga ciri ini?
Baiklah,
diskusi selanjutnya kembali ke kalimat (1-8) di muka. Paradigma kritis dalam pengajaran linguistik,
misalnya, akan menelaah kalimat-kalimat itu sbb.
Pada kalimat
(1, 2, 5, 7) Presiden SBY memilih bentuk kalimat aktif untuk mengemukakan
sesuatu yang tidak berisiko memancing kontroversi, tidak berpotensi dikritik.
Keempatnya adalah kalimat yang ”aman”, yang mustahil memicu kritik. Siapa pun
pasti berani mengucapkan kalimat-kalimat tsb.: akan memberantas korupsi (1), instruksi
menindak tegas polisi dan jaksa yang nakal (2), ajakan memberantas korupsi (5), instruksi
mencari buron kepada Polri (7). Perhatikan: pesan keempat kalimat baru ’akan’,
’instruksi’, dan ’ajakan’. Pada kalimat (3, 4, 6) SBY memilih bentuk kalimat
pasif untuk menyatakan sesuatu yang bernuansa kegagalan, atau yang sensitif
memicu kritik, kontroversi, protes: persoalan bangsa yang tidak diselesaikan (3),
penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (4), dan pembenahan pranata
hukum (6).
Untuk
sesuatu yang ”aman”, melalui bentuk aktif, SBY berani secara eksplisit memilih
nomina pemerintah dan pronomina
persona saya, untuk mengisi fungsi
subjek, seperti pada kalimat (1, 2, 7). Misalnya SBY berjanji akan -- ingat:
baru akan! -- memberantas korupsi
(1), sekadar memberi instruksi (2, 7).
Begitu akan
menyatakan sesuatu yang ”tidak aman”, yang berpotensi menuai kritik, tentang
kegagalan, seperti kalimat (3, 4, 6), SBY dengan sadar tidak akan menyebut
kedua kata (pemerintah dan saya) secara eksplisit. SBY dengan
demikian sengaja menyembunyikan kedua kata agar tidak muncul dalam kalimat -- dan
itu memang dimungkinkan dalam kalimat pasif. Pada kalimat (3), misalnya, SBY
tidak berani terang-terangan mengakui kegagalannya menyelesaikan persoalan
bangsa. Kalau memang berani, SBY pastilah memilih bentuk aktif; bayangkan: Saya tidak
mungkin menyelesaikan segala persoalan bangsa yang rumit ini hanya dalam 100
hari. Dengan bentuk aktif, kedua kata (saya,
pemerintah) harus muncul sebagai pengisi fungsi subjek. Untuk kalimat (4),
SBY tampak tidak yakin dengan apa yang dikatakannya sendiri dan rupanya cukup
sadar bahwa pasti ada publik yang tidak percaya jika SBY bisa menindak koruptor
tanpa pandang bulu. Karena itu, ia lebih memilih bentuk pasif (4) ketimbang
bentuk aktif: Pemerintah telah menindak pelaku tindak pidana korupsi
tanpa pandang bulu. Bentuk aktif akan
memaksa SBY menyebut pronomina persona saya
atau kata pemerintah untuk mengisi
fungsi subjek kalimat -- dan pastilah dihindari!
Bahkan,
lebih lanjut, pengajaran linguistik berparadigma kritis dapat membekali
mahasiswa untuk menyusun sebuah interpretasi kritis-argumentatif. Misalnya:
sebagai pemimpin pemerintahan, Presiden SBY mengkonsolidasikan kekuasaannya
dengan mendayagunakan bentuk kalimat aktif untuk menyatakan keberhasilan
(kebaikan) dan bentuk kalimat pasif untuk menyembunyikan kegagalan (keburukan).
Isu media bahwa SBY lebih sibuk membangun citra dapat dimanfaatkan mahasiswa
sebagai konteks sosial untuk mempertajam eksplanasi, misalnya dalam hal ini ”politik
pencitraan SBY salah satunya dijalankan melalui bentuk kalimat”.
Selanjutnya,
untuk menganalisis wacana (9), analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) memberikan aksentuasi fokus kajian
yang berbeda, yang terasa lebih konkret bersangkutan dengan konteks sosial
historis (Fowler, 1996; Fairclough 2008), sampai akhirnya
menemukan makna terselubung di baliknya (Jupriono et al., 2009), misalnya sbb.
Secara
eksplisit, SBY menyatakan bahwa: pertama,
globalisasi mengandung manfaat dan mudarat sekaligus; kedua, tidak hanya Indonesia yang terkena dampak globalisasi; ketiga, pemerintah melakukan langkah
antisipatif untuk meredam gejolak krisis global; keempat, devisa dan program kebijakan pemerintah dapat meminimalkan
dampak. Motif terselubungnya dapat ditafsirkan sebagai berikut: pertama, biang kerok segala masalah di
Indonesia adalah globalisasi dan bukan ketidakmampuan pemerintah; karena itu, kedua, jangan menyalahkan pemerintah
(SBY) -- salahkanlah globalisasi!
Hal yang
tidak diungkap dengan eksplisit adalah: pertama,
seberapa besar perbandingan antara manfaat dan mudarat globalisasi bagi
Indonesia; kedua, negara mana yang
dimaksud: negara maju, negara sedang berkembang, atau negara yang ketinggalan,;
ketiga, apa saja wujud konkret
langkah antisipatif untuk meredam gejolak krisis global; keempat, seberapa besar devisa dan program kebijakan pemerintah
dapat meminimalkan dampak buruk krisis global; kegemaran SBY dalam memakai
penalAran teknis berupa angka statistik, misalnya, mengapa pada titik ini tidak
muncul ... dst. (CF. Jupriono et al., 2009).
PARADIGMA KRITIS DAN KARAKTER MAHASISWA
Sanggupkah
paradigma deskriptif membekali mahasiswanya untuk berkesadaran dan berkarakter
kritis seperti butir-butir di atas? Sulit diharapkan itu terjadi—kalaulah tidak
mustahil. Yang berpotensi sanggup melahirkan mahasiswa berkarakter kritis, yang
dapat mengkritisi pernyataan para pemimpin, tokoh, politisi, presiden,
misalnya, adalah paradigma kritis. Dalam paradigma kritis bukan saja
dasar-dasar teoretis diberikan, bahan ajarnya pun memanfaatkan teks-teks aktual
(Wodak,
2008; Thurlow, 2007), semacam pidato kenegaraan presiden di muka
misalnya.
Baiklah,
berikut ini akan dideskripsikan sisi-sisi positif pengajaran linguistik
berparadigma kritis dalam rangka pembangunan karakter mahasiswa.
Pengajaran
linguistik berparadigma kritis mendorong mahasiswa mengenal dengan baik
persoalan bangsanya. Paradigma ini akan mengkondisikan mahasiswa untuk
menemukenali problem-problem sosial konkret masyarakat (Wodak, 2008). Bahan
ajar linguistik kritis memang mengharuskan teks-teks aktual macam pidato
presiden di muka.
Pengajaran
linguistik berparadigma kritis menyebabkan mahasiswa menjadi peduli, concern, atas persoalan-persoalan yang
dihadapi bangsanya. Dengan demikian, kontribusi paradigma linguistik kritis
bagi pembangunan watak mahasiswa jelas lebih mendekati kenyatakan dan lebih
konkret ketimbang dengan pendekatan deskriptif. Makin rajin, makin menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mendalami linguistik (kritis), mahasiswa akan
makin tahu dan akhirnya menjadi lebih peduli pada persoalan-persoalan serius
yang dihadapi masyarakatnya.
Pengajaran
linguistik berparadigma kritis menyebabkan mahasiswa menjadi lebih percaya
diri. Dalam kelas linguistik berparadigma kritis, mahasiswa akan sadar betapa
disiplin ilmu yang didalami -- biarpun amat mungkin tidak diketahuinya
berparadigma kritis -- dapat menempatkan dirinya sejajar dengan
mahasiswa-mahasiswa prodi lain (teknik, hukum, FISIP, psikologi, misalnya).
Mereka, mahasiswa linguistik tersebut, merasa tidak ketinggalan informasi,
merasa sama-sama tahu persoalan apa yang sedang menjadi isu utama bangsanya,
merasa sama-sama punya potensi untuk melontarkan sikap atas persoalan masyarakatnya.
(Wodak, 2008). Mereka tidak lagi merasa termarginalisaikan dari persoalan
bangsa dan terasingkan dari masyarakatnya.
SIMPULAN
Beberapa
simpulan dapat ditarik sebagai berikut. Pertama,
pengajaran linguistik berparadigma deskriptif memisahkan bahasa dari realitas
konteks sosial. Akibatnya, kedua,
mahasiswa menjadi tidak mengenal, tidak peduli, dan terasingkan dari
persoalan-persoalan bangsanya. Ketiga,
pengajaran linguistik hendaknya dilengkapi dengan paradigma kritis, yang
memandang bahwa bahasa itu tidak pernah netral dari kepentingan kekuasaan dan
kompetisi dan dominasi antarkelompok. Dengan pengajaran linguistik berparadigma
kritis, keempat, pada mahasiswa akan
ditumbuhkan karakter, sikap, dan kesadaran kritis untuk menemukenali dan peduli atas
persoalan-persoalan bangsanya.
Ada celetukan yang mudah-mudahan tidak cukup
serius. Pengajaran linguistik berparadigma kritis, katanya, akan sangat
menyulitkan baik mahasiswa maupun dosennya. Yang dinilai ”sudah cukup umur”
untuk menerima pengajaran berparadigma kritis, katanya lagi, adalah mahasiswa pascasarjana (S2, S3). Dosen
juga akan dibebani oleh keharusan mencari dan membaca buku-buku baru
berparadigma kritis ini yang, konon, amat langka.
Semua ini
berlebihan. Sebagai pengajar mata kuliah Pengantar Linguistik Umum, penulis
menambahkan materi linguistik kritis. Memang benar bahwa pemahaman atas
linguistik kritis tidak lebih mudah ketimbang linguistik deskriptif, tetapi
juga tidak lebih sulit. Relatif sama saja. Soalnya hanyalah perlunya pembiasaan
dan penumbuhan atmosfer perkuliahan linguistik yang tidak melulu diisi oleh
paradigma deskriptif, tetapi juga paradigma kritis. Benarkah sumber-sumber
belajarnya langka, sulit dicari? Meskipun memang tidak sebanyak pustaka
deskriptif, ada juga yang kritis, misalnya Analisis
Wacana (Eriyanto, 2005) yang gampang dicari di perpustakaan dan toko buku.
Selain itu, internet juga merupakan sumur yang tak pernah kering. Di sana dapat
dibaca gratis pandangan-pandangan linguistik kritis dari Fairclough (2008), Thurlow (2007), van Dijk (2002),
misalnya.
Jika dampaknya memang lebih signifikan dalam membentuk karakter positif
mahasiswa, paradigma kritis mesti disambutrayakan untuk dikenalkan di bangku
kuliah. Ketika pengajaran dan penelitian ilmu-ilmu sosial di Indonesia secara
pelan namun pasti menggunakan paradigma
kritis (Siswoyo, 2003) untuk mengkaji realitas sosial yang penuh ketidakadilan
(cf. Sarantakos, 1995), masih adakah alasan untuk menolak -- setidaknya menunda
-- paradigma kritis dalam pengajaran linguistik? Karena baik linguistik maupun
ilmu-ilmu sosial humaniora lain sama-sama berada dalam ruang publik yang satu,
saling pengaruh di antaranya pastilah tak terhindarkan.
REFERENSI
Alwi, H., S. Dardjowidjojo, H. Lapoliwa,
A.M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ed.
II. Jakarta: Depdikbud.
Bloomfield, L. 1939. “Linguistics Aspects
of Science”. International
Encyclopedia of Unified Science. Chicago: The University of Chicago.
Brown, G. & G. Yule. 1985. Discourse Analysis. London: Cambridge
Univ. Press.
Chomsky, N. 1972. Language and Mind. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Depdiknas. 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur
Balitbang Depdiknas.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKIS.
Fairclough, N.
1995. Critical Discourse Analysis: The
Critical Study of Language. Harlow-EsseX: Longman Group UK, Ltd.
Fairclough, N.
2008. “Critical linguistics”. International
encyclopedia of linguistics. www.mywire.com/ a/Intl-Enc-Linguistics/Critical-Linguistics/9460312/
Fowler, R. 1996. “On Critical linguistics”. Dlm. C.R.
Caldas-Coulthard & M. Coulthard (ed.), Text
and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis. London-New York:
Routledge, hlm. 1—14.
Gleason, H.A. 1955. An
Introduction to Descriptive Linguistics. Rev. Edition. Hold, Rinehart and
Winston, Inc.
Jupriono,
D., Sudarwati, A.C. Rahayu, A. Andayani. 2009. “Makna Terselubung Pidato
Kenegaraan Presiden SBY: Analisis Wacana Kritis”. Parafrase 9(2) September.
Jupriono,
D. 2001. “Kajian Sosiolinguistik Kritis: Akronim Singkatan Pelesetan Politis,
Strategi Metodologi Interaksionisme Simbolis”. Humanika 5(1) Juli: 23—35.
Jupriono,
D. 2010. ”Politik Pencitraan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Melalui Bentuk Kalimat: Kajian Linguistik
Kritis”. Makalah Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
untuk Berkala Nasional Terakreditasi Tahun 2010 dari Hasil Penelitian Hibah
Ditjen Dikti Depdiknas.
Jupriono,
D. 2010a. ”Paradigma Kritis dalam Pengajaran Linguistik untuk Membangun
Karakter Bangsa”. Makalah Seminar
Nasional Pengembangan Ilmu Sosial, Humaniora, dan Pendidikan untuk Membangun
Karakter Bangsa, Yayasan Beasiswa Tunas Bangsa dan FIS, Unesa Surabaya, 27
Maret 2010
Kridalaksana, H. 1991. ”Perkembangan
Linguistik Dewasa Ini”. Atma nan Jaya
4(2) Agustus: 99—127.
Mukhadis, A. 2004.
”Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Rambu-rambu Implementasinya di Perguruan
Tinggi”. Bahan Dialog Interaktif dan Pelatihan Pengembangan Kurikulum di
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 12—13 April 2004.
Samsuri. 1985. Tata
Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.
Santoso, A. 2000. ”Paradigma Kritis dalam
Kajian Kebahasaan”. Bahasa dan Seni
2(2) Agustus: 127—146.
Sapir,
E. 1921. Language: An Introduction to the
Study of Speech. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Sarantakos, S. 1995. Social Research. South Melbourne: McMillan Education Australia,
Ltd.
Stubbs,
M. 1983. Discourse Analysis, the
Sociolinguistics Analysis of Natural language. Oxford: Basil Blackwell.
Thurlow, C. 2007. “Critical
Linguistics: The Power of Language in Everyday Life”. http://faculty. washington.
edu/thurlow/guestlectures/osher1.pdf
van Dijk,
T.A. 2001. “Principles of Critical Discourse Analysis”. M. Wetherel, S. Taylor,
S. Yates (ed.). Discourse Theory and
Practice: A Reader. London: Sage
Publications Ltd. Hal. 300-317
van Dijk, T.A. 2002. “From Text
Grammar to Critical Discourse Analysis”. http://cf.hum. uva.nl/teun/beliar-e.htm
Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Lingguistik. Yogyakarta: Gadjah
Mada Univ. Press.
Wodak, R. 2008. “The Contribution
of Critical Linguistics to the Analysis of Discriminatory
Prejudices and Stereotypes in the
Language of Politics”. Dlm. Handbook of
Communication in the Public Sphere, R. Wodak & V. Koller (ed.). New York- Berlin: Mouton de Gruyter, hlm.
291–316.
THE STUDIES OF THE BILDUNGSROMAN IN HERMAN
HESSE’S DEMIAN AND CHARLES DICKENS’ DAVID COPPERFIELD
Supriyatno
Unisda Lamongan
Abstrak
Bildungsroman berperan penting dalam gerakan sastra. Peranannya
berpusat pada pengembangan atau pendidikan karakter sentral. Novel
Bildungsroman bertujuan membimbing
pembaca untuk pengayaan pribadi
yang lebih besar pada petualangan protagonis dari
masa muda hingga dewasa. Charles Dickens dikenal sebagai salah satu penulis yang perhatian pada pengembangan atau pendidikan karakter sentral. Salah satu karya terbaiknya adalah David Copperfield. David Copperfield
menggambarkan tentang kehidupan David Copperfield sebagai karakter utama
dalam cerita, dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Herman Hesse
penulis lain yang perhatian pada perjalanan kematangan emosi karakter. Demian adalah karya
Hesse yang menggambarkan
pencarian Demian, karakter utama, untuk kematangan
emosional dalam hidupnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan dipelajari dengan menggunakan karakteristik
Bildungsroman pada David Copperfield dan Demian
Kata Kunci: Bildungsroman,
protagonist, personality development
Bildungsroman and Erziehungsroman are German terms signifying “ novel of formation
“ or “ novel of education”. The subject of the novel is the development of
the protagonist’s mind ( chief character ) and characters, in the passage from
childhood through varied experiences and often through a spiritual crisis, into
maturity and the recognition of his or her identity and role in the world. An important subtype of the Bildungsroman is the Kunstlerroman ( “
artist-novel “), which represents the growth of a novelist or other artist into
the stage of maturity that signalizes the recognition of the protagonist’s
artistic craft. The Bildungsroman intends to lead the readers to greater
personal enrichment as the protagonist journeys from youth to psychological or
emotional maturity. Some Bildungsromans end with the death of the hero, leaving
the promise of his life unfulfilled. Traditionally, English novelists
complicate the protagonist’s battle to
establish an individual identity with conflicts from outside the self. German
novelists typically concentrate on the internal struggle of the hero. The
protagonist’s adventures can be seen as a quest for the meaning of life or as a
vehicle for the author’s social and moral opinions as demonstrated through the protagonist
The Bildungsroman is a novel of formation or development. These terms
imply that the Bildungsroman is also about education, yet not necessarily in
the narrow sense of the Erziehungsroman, novel of educational development. Life
is an education, and the process of growing up as chronicled in the
Bildungsroman is a series of experiences that teach lessons.
*) Supriyatno, is an English
Lecturer of the Department of English Language, FKIP Universitas Islam Darul
‘Ulum ( UNISDA ) Lamongan and a student of S2 Post Graduate Program at
Universitas Negeri Surabaya ( UNESA ) Surabaya.
The
protagonist’s education may be academic; it may also be in other areas, such as
learning social graces, conducting business affairs, and gaining integrity in
relationships.
The journey and experiences of the hero are intended to provide an
opportunity to examine the inner self and clarify important goals and clarify important goals and how to pursue
them. In other words, facing the complexities of the adult world causes the
protagonist to learn about others and about himself. The Bildungsroman is a psychological novel in
which the main character evolves toward mature self-awareness. Meanwhile, the
other themes and characteristic of the Bildungsroman relate to love, searching
for the meaning of life ( the hero develops through experiences that assist in
clarifying the character’s mature values ), audience ( it involves the reader
in the same process of education and development as the main character ),
character ( the focus on one main character, the structure of the Bildungsroman
is to follow this one character from youth to adulthood ), chronicle (
Bildungsroman is record of events of the protagonist from youth to adulthood,
it uses a chronological time period to follow the hero year to year ), conflict
( each crisis the hero endures helps to deepen his self-knowledge and
strengthen or challenge the moral, multiple conflicts are essential to the
credibility of the Bildungsroman as a reflection of the real life experience ),
dialogue ( using dialogue to carry the story makes the reader feel more of a
witness to an actual scene ).
Another name for Bildungsroman is the general term, Entwicktslungroman,
or novel of development. This name applies to novels constructed to follow the
personality development of the protagonist.
The Bildungsroman was born, then, in specific historical circumstances,
in a demonstrable interlocking of theory and praxis. It is a novel form
recognizably animated by the Humanitatsideal
of the late eighteenth-century in
Germany that it is
concerned with the
whole person unfolding in all his
complexity and elusiveness. It is a concern shared by Humboldt, Goethe,
Schiller, and many others, and the discursive or theoretical formulations of
the idea (and ideal) of Bildung are legion.
But it is important to remember that what concerns us here is a genre of
the novel, not a theoretical or cultural tract. The novel makes certain demands
in respect of plot and characterization that prevent the concern for Bildung
from being articulated at a purely conceptual level. Indeed, this is part of
the problem. The serious novel may be born with the advent of the
Bildungsroman,but there remains a certain bad conscience, as it were. For the novel, it seems, retains that
questionable legacy of having to do with events, adventures, episodes all of
which militate against human and poetic substance. The need constantly to
rehabilitate the novel form is expressed with almost monotonous unanimity by
German novel theorists throughout the nineteenth century, and it is nearly
always couched in the same terms as a concern for poetry within the traditional
prose of the novel. The danger with the novel is, apparently, that it all too readily
backslides into an irredeemably prosaic condition.
A Bildungsroman is a novel of the development of a young man
(or in some cases a young woman). In other definition of Bildungsroman is a novel
dealing with the education and development of its protagonist. The
Bildungsroman as a genre has its roots in Germany. Jerome Buckley notes that
the word itself is German, with Bildung having a variety of connotations:
"portrait," "picture," "shaping" and
"formation," all of which give the sense of development or creation
(the development of the child can also be seen as the creation of the man)
(13-14). Roman simply means "novel." The term Bildungsroman emerges as a description of Goethe's Wilhelm
Meisters Lehrjahre. This was the first Bildungsroman, having been published
between 1794 and 1796 (Buckley,
1974: 9). The word "Lehrjahre" can be translated
as "apprenticeship" (Buckley, 1974: 10). "Apprenticeship" has many connotations, most
of which deal with education and work. An apprentice goes to work for an experienced
worker and learns and develops his trade and also to a greater extent his
identity. Similarly, the Bildungsroman is characterized by the growth,
education, and development of a character both in the world and ultimately
within himself.
The Bildungsroman is subcategorized into
very specific types of the genre, most often found in German literature. There
is the Entwicklungsroman, which can be defined as "a chronicle of a young
man's general growth rather than his specific quest for self-culture" (Buckley, 1974: 13). In other words, a
story recounting a man's life rather than focusing on the inner changes which contribute to his maturity.
Another form within German literature is the Erziehungsroman; this form is
primarily concerned with the protagonist's actual educational process (Buckley, 1974: 13). Again, the concern is
not the overall development of the main character, but a specific aspect of
that character's life. Finally, there is the Kunstlerroman. The root Kunstler
translates as artist in English. Therefore, this is the development of the
artist from childhood until his artistic maturity, focusing on the man as
artist rather than the man in general. Dickens' David Copperfield and
James Joyce's A Portrait of the Artist as a Young Man are both examples
of English Kunstlerroman, as the protagonists of both books are writers
(Buckley, 1974: 13).
There
are some aspects in common, all of which are important to the development of
the protagonist.
1. It
is an autobiographical form, which is not to say that Bildungsroman are
autobiographies in the literal sense. Buckley quotes author Somerset Maugham
speaking about his novel Of Human Bondage (considered to be a
Bildungsroman): " 'It is not an autobiography, but an autobiographical
novel; fact and fiction are inextricably mingled'. Naturally, an author brings something of his own life into
his work, especially in a form in which childhood recollections are so
important to the development of the protagonist, and the flow of the novel
itself. However, as
Maugham says,
"fact mingles with fiction." An author may incorporate some
autobiographical material, since it is easiest to write about what he has already known, but Great Expectations is not
Dickens' story, it is Pip's; the main character of A Portrait of the Artist
as a Young Man is not James Joyce, but Stephen Dedalus; and Jane Eyre,
which is subtitled "An Autobiography" would clearly then be the
autobiography of Jane Eyre, not Charlotte Bronte. Ultimately the
autobiographical elements contribute to a sense of reality within the
Bildungsroman, but the Bildungsromans are novels, and therefore, fiction.
2. The
second common characteristic of the Bildungsroman is the ancestry of the main
character. Many Bildungsroman novels have a protagonist who is often an orphan
or a child who has suffered the loss of a father (Buckley, 1974: 19). This sets the scene for a
difficult development, marked by a desire in the protagonist to search for his
or her own identity, since there is either none to begin with as an orphan, or no
familiar identity as a
fatherless child. Therefore, the child seeks to gain an identity of its own,
and the development begins.
3. Another
aspect is the education of the main character. This education is crucial, means that, it is part of the
child's maturation and preparation for impending adolescence and adulthood.
Often, the education is a sticking point of the child's home life. He is
usually from a small provincial town, and often the education expands the
child's mind and "is frustration insofar as it may suggest options not
available to him in his present setting" (Buckley, 1974: 17). These options are important in
the development of the protagonist.
I.
The Analyses of Bildungsroman in Herman
Hesse’s Demian and Charles Dickens’ David Copperfield
Emil Sinclair is a young boy raised in a borgeois home, what is described
as a Scheinwelt, a word means world
of light as well as world of illusion. Sinclair’s existence can be told as a
struggle between two worlds: the show world of illusion and the real world, and
the world of spiritual truth. Demian is described as Jungian symbolism. In
addition, psychoanalysis issues which he has experienced in his youth,
including internal tension caused by a dualistic interpretation of the world
which he has held between his own instincts and the strict moralism. Demian
describes Sinclair’s personal inward journey to a genuine understanding of his
deep inner self. The character Max Demian here, as Sinclair’s schoolmate helps
to open his mind to unconventional ways of thinking that ultimately lead to
self-discovery. Through his years of grade school, high school, and university
education, but, Sinclair encounters several personal teachers who lead him
toward a revelation of true self-knowledge. Back to the characteristics of Bildungsroman,
i.e., ---autobiography---, such themes appear throughout Demian as the
autobiographical reflection upon Hesse’s own exploration of Jungian philosophy.
It influences Demian in aspects of his life. He is a protagonist of this novel
and is conveyed within the story which Jungian individuation takes part as the
process of opening up to one’s unconsciousness in the forms of spiritual
enlightment. On the other hand, the other characters support Sinclair’s ways of
thinking. He looks up towards his sisters and mother, and even his house maid.
When Sinclair is an adolescent man, he discovers a mother, Frau Eva. These
women do not, indeed, have the major roles in the story, but, Hesse uses them
symbolically as facet of the depth of Sinclair’s mind.
Meanwhile, the concepts of Bildungsroman in Charles Dickens’ David
Copperfield, this novel narrates the characteristics of an autobiography, a
protagonist, and education. How Charles Dickens describes himself in the soul
of David Copperfield. He is, of course, a protagonist to determine the ways of
his life, struggle, and sacrifice to get the best future times. This leads us
to the moral teaching that reaching the goals of life must be with the ways of
struggling and sacrificing, and it is of self-cultivation. It gives us
educational messages, memories, romantics, and the myths of life.
II.
The Synopses of the Novels
a.
The Synopsis of Herman Hesse’s Demian
The story of Demian begins when Sinclair is ten years
old and attending a grammar school in the small German town where he lives with
his parents and two sisters. He describes a formative childhood experience when
he lies to another child, Franz Kromer, bragging he has stolen apples from a
local farmer. Although he is innocent of any crime, Kromer blackmails him by threatening
to report to the police or to the farmer that he has stolen the apples. For
weeks afterwards, Kromer threatens him into providing him with whatever money
he can pilfer from his house, as well as other items. Sinclair’s life becomes
dominated by his fear of Kromer and his fear of being found guilty by his
parents or other authorities. Sinclair comes to feel that he has committed a
sin, and that he now belongs to evil, or dark, realm of the world rather than
the good light realm in which he is brought up.
Max Demian, a new
boy in Sinclair’s school who is a few years older than him, begins to take an
interest in Sinclair. Demian exposes Sinclair to unconventional interpretations
of their religious studies. Eventually, Sinclair indicates to Demian that Kromer
has troubled him, and Demian manages to scare Kromer leaving Sinclair alone.
Although Sinclair is relieved to be rid of Kromer, he does not thank Demian or
attempt to befriend him because he is ashamed that he did not solve his own
problems.
Several years have
passed, Sinclair and Demian develop into a friendship.Though Demian is rumored
to be atheist or Jewish, he decides to attend religious confirmation classes in
the same year as Sinclair. He begins to feel a bond with Demian, who sits near
Sinclair in confirmation class and frequently offers unconventional
interpretations of the biblical stories they are being taught. Although he is
disturbed by Demian’s unconventional ideas, Sinclair feels that his mind is
being opened by Demian’s influence, and he begins to question his religious
faith. However, both boys complete their confirmation.
b.
The Synopsis of Charles Dickens’ David Copperfield
The story deals with the life of David Copperfield since he was a child
up to the maturity. He is born in England in 1820. His father has died six
months before he is born. Seven years later, his mother marries Mr. Edward
Murdstone. David is given good reason to dislike his stepfather. Mr. Murdstone
thrashes David for falling behind with his studies. Following one of these
thrashings, David bites him and is sent away to a boarding school, Salem House,
with a ruthless headmaster. His name is Mr. Creakle. Here he befriends James
Steerforth and Tommy Traddles, both of whom he meets again later on.
David returns home for the holidays to find out
that his mother has had a baby boy. Soon after, he goes back to Salem House,
his mother and her baby die and he has to return home immediately. Mr.
Murdstone sends him to work in a factory in London, of which Murdstone is a
joint owner. His landlord, Mr. Wilkins Micawber, is sent to a debtor’s prison
after going bankrupt, and is there for several months before being released and
moving to Plymouth. David now has nobody left to care for him in London and
decides to run away. He walks all the way from London to Dover, only to find
his relative, his aunt Miss Betsey. Betsey Trotwood agrees to bring him up,
despite Mr. Murdstone visiting in a bid to regain custody of David. Betsey
renames him Trotwood Copperfield, soon it is shortened to “Trot”.
The story goes on David as he grows to adulthood, and is enlivened by the
many well-known characters who enter, leave and re-enter his life. These
include Peggotty, his faithful former housekeeper for his mother, her family,
and their orphaned niece Little Em’ly who lives with them and charms the young
David. The major characters get some measure of what they deserve. Peggotty safely transports Little Em’ly to a
new life in Australia; accompanying these two central characters are Mrs.
Gummidge and the Micawbers. Everybody involved finally finds security and
happiness in their new life in Australia. David first marries the beautiful but
naive Dora Spenlow, but she dies after failing to recover from a miscarriage
early in their marriage. Then, David does some soul-searching and eventually
marries and finds true happiness with the sensible Agnes Wickfield, who had
secretly always loved him. They have several children, including a daughter
named in honour of Betsey Trotwood.
III.
Characters and Characterizations of the
Novels
A. Characters and Characterizations of Herman Hesse’s Demian
a. Emil Sinclair – A
protagonist of the novel. He is confused as to what his life is, is going to
seek mentorship throughout the novel. He tends to need validation by an older
figure, and finds mentors in figures such as Pistorius, Demian, and Eva.
b. Sinclair’s mother and father – They are the symbols of safety toward which Sinclair first finds refuge,
but against whom he eventually rebels.
c. Franz Kromer – A
bully, whose psychological torture leads Sinclair to meet Demian.
d. Max Demian – A
chilhood friend and a mentor of Sinclair. Demian leads Sinclair to his eventual
self-realization, and may be considered Emil’s daemon.
e. Alfon Beck – The
sarcastic and avuncular oldest boy at the boarding house where Sinclair enrolls
after his confirmation. Beck serves as a minor mentor to Sinclair and
introduces him to the joys and pitfalls of alcohol.
B. Characters and Characterizations of
Charles Dickens’ David Copperfield
a.
David Copperfield – An optimistic, dilligent, and preserving character,
he is the protagonist. He is later called Trotwood Copperfield.
b.
Clara Copperfield – David’s kind mother, described as being
innocently childish, who dies while
David is at Salem House. She dies just after the birth of her second child ( a
son, Edward Murdstone ), who dies along with her.
c.
Peggotty – The faithful servant of the Copperfield family and
a lifelong companion to David. After her husband’s death, Peggoty helps to put
David’s rooms in order, and then returns to Yarmouth to keep house for her
nephew Ham Peggoty.
d.
Betsey Trotwood – David’s eccentric and temperamental yet kindhearted
great-aunt; she becomes his guardian after he runs away from Grinby and
Murdstone’s warehouse in Blackfriars.
e.
Mr. Chillip - A shy, elderly, doctor who assists at David’s
birth and faces the wrath of Betsey Trotwood after he informs her that Clara’s
baby is a boy instead of a girl.
f.
Mr. Barkis – An aloof carter who declares his intention to marry
Peggoty.
g.
Edward Murdstone – Young David’s cruel stepfather, who beats him for
falling behind in his studies.
h.
Jane Murdstone – Mr. Murdstone’s equally cruel spinster sister, who
moves into the Copperfield house after Mr. Murdstone marries Clara Copperfield.
i.
Daniel Peggoty – Peggoty’s brother; a humble but generous Yarmouth
fisherman who takes his nephew Ham and niece Emily into his custody after each
of them has been orphaned.
j.
Emily ( Little Em’ly ) – A niece of Mr. Peggoty. She is a childhood friend
of David Copperfield who loves her in his childhood days.
k.
Ham Peggoty – A good-natured nephew of Mr. Peggoty and the fiance
of Emily before she leaves him for Steerforth.
l.
Mrs. Gummidge – The widow of Daniel Peggoty’s partner in a boat.
She is a self-described “lone, lorn creetur” who spends much of her time pining
for “the old ‘un” ( her late husband ).
m. Martha
Endhell – A young woman of a
bad reputation who helps Daniel Peggoty find his niece after she returns to
London. Sha has worked as a prostitute, and been victim to the idea of suicide.
n.
Mr. Creakle – The harsh headmaster of young David’s boarding
school, who is assissted by Tungay. Mr. Creakle is a friend of Mr. Murdstone.
He singles out David for extra torment.
o.
James Steerforth – A close friend of David, he is of a romantic and
charming disposition and has known David ever since his first days at Salem
House.
p.
Tommy Traddles – David’s friend from Salem House. They meet again
later and become eventual lifelong friends. Traddles works hard but faces great
obstacles because of his lack of money and connections. He eventually succeeds
in making a name and a career for himself.
q.
Wilkins Micawber – A gentle man who befriends David as a young boy. He
suffers from much financial difficulty and even has to spend time in a debtor’s
prison, before moving to Plymouth.
r.
Mr. Dick ( Richard Babley ) – A slightly deranged, rather childish but amiable
man who lives with Betsey Trotwood; they are distant relatives.
s.
Dr. Strong – The headmaster of David’s Canterbury school, whom
he visits on various occasions.
t.
Anne Strong – The young wife of Dr. Strong. Although she remains
loyal to him, she fears that he suspects that she is involved in an affair with
Jack Maldon.
u.
Jack Maldon – A cousin and childhood sweetheart of Anne Strong.
He continues to bear affection for her and tries to seduce her into leaving Dr.
Strong.
v.
Mr. Wickfield – The widower father of Agnes Wickfield and lawyer to
Betsey Trotwood. He is prone to alcoholism.
w.
Agnes Wickfield – Mr. Wickfield’s mature and lovely daughter and
close friend of David since childhood. She later becomes David’s second wife
and mother of their children.
x.
Uriah Heep – A wicked young man who serves first as secretary,
and then as partner to Mr. Wickfield.
y.
Mrs. Steerforth – The wealthy widowed mother of James Steerforth. She
herself is incredibly like her son.
z.
Miss Dartle – A strange, vitriolic, spinster woman who lives with
Mrs. Steerforth. She has a secret love for Steerforth.
aa.
Mr. Spenlow – An employer of David’s during his days as a proctor
and the father of Dora Spenlow. He dies suddenly of a heart attack while
driving his phaeton home.
bb.
Dora Spenlow – The adorable but foolish daughter of Mr. Spenlow
who becomes David’s first wife. She dies after a long illness on the same day
as her ageing dog, Jip.
cc. Mr.
Sharp – He was the chief
teacher of Salem House and had more authority than Mr. Mell. He looks weak,
both in health and character. He had a big nose.
dd.
Mr. Mell – A tall, thin young man with hollow cheeks. His hair
was dusty and dry too, with rather short sleeves and legs.
CONCLUSION
Bildungsroman uses
the outside world to threaten the hero’s quest for identity. Many Bildungsroman
draw from the author’s own experience. It applies to novels constructed to
follow the personality development of the protagonist. It is not only more
concerned with the formal education and training of the protagonist, but
Bildungsroman novels also intend to teach certain lessons about values to the
readers as well.
REFERENCES
Abrams,
M.H.1993. A Glossary Of Literary Terms. Harcourt Brace College
Publisher.
Buckley, Jerome Hamilton.1974. Season
of Youth: The Bildungsroman from Dickens to
Golding. Cambridge: Harvard
University Press.
Dickens, Charles. 1977. David Copperfield. Oxford University
Press.
Hesse, Herman. 1970. Demian. Harper & Row Publishers, Inc.
New York.
Kooistra, J and J.H. Schutt.
1964. A Shorter Introduction to English
Literature. J.B Wolters -
Groningen Batavia.
Milne, Ira Mark.2009. Literary Movement. 27500 Drake Rd.
Farmington Hills,
MI, 48331 – 3535.
PERBANDINGAN MITOS YANG TERDAPAT PADA
LEGENDA
(KO-SODATE YUUREI) (JEPANG)
DAN LEGENDA KUNTILANAK (INDONESIA) (KAJIAN SASTRA BANDINGAN)
Diessy
Hermawati Bravianingrum
Universitas
Pesantren Tinggi Darul’Ulum
Abstrack
Myth is an inherited
form of certain stories
from oral tradition that can be interpreted in a symbolic order of
the Worlds or the public order. Legend (Kosodate
Yuurei) (Japan) and
Kuntilanak (Indonesia) has the same symbols
and depicted in
a similar form. The results of
this study indicate that the Japanese society and Indonesia are 1) the type
contained in the second myth is the myth symbolic legend. 2) Perceptions of
Japan's legend (Ko-sodate Yuurei) is positive, and public opinion against the
legend Kuntilanak Indonesia is negative.
Kata Kunci:
Mitos, Legenda dan Forklor
Folklor merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri di
Indonesia. Kata folklor sendiri berasal dari dua kata yaitu folk dan lore.
Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik atau
kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan
masyarakat. Lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaannya
yang diwariskan secara turun temurun secara lisan melalui suatu contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Dapat disimpulkan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif
macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama diketahui
asal dari peredaran lisan. Folklor juga merupakan sebagian kebudayaan yang
disebarkan melalui tutur kata atau lisan. Salah satu bentuk folklor yang dapat
dipelajari secara terus menerus adalah legenda.
Kata legenda seringkali diperbincangkan oleh masyarakat umum tanpa
mengartikannya secara luas tentang, kata legenda itu sendiri.
Pengertian tentang legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap yang
empunya cerita sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya pernah
terjadi dalam bentuk suatu peristiwa (Danandjaja : 2002, 70). Biasanya legenda
bersifat sekuler (keduniawian). Legenda seringkali dipandang sebagai sejarah kolektif
walaupun tidak tertulis tetapi telah mengalami distorsi sehingga seringkali
jauh berbeda dengan kisah aslinya.
Jika membicarakan tentang suatu legenda yang berhubungan dengan suatu
peristiwa sudah dapat dipastikan tidak akan pernah lepas dari mitos yang
beredar di masyarakat luas. Mitos merupakan simbol dari sebuah sejarah yang
diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Mitos juga dapat
dikatakan sebagai salah satu cerita berbentuk simbolis yang menceritakan
tentang serangkaian peristiwa nyata dan imajiner yang menyangkut asal-usul dan
perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan atas kodrati, manusia,
pahlawan dan masyarakat. Mitos memiliki karakter imperatif dan bertentangan
yaitu berakar dari satu konsep sejarah serta secara langsung muncul di hal-hal
yang bersifat kebetulan (Cremers, 1997 : 138).
Legenda yang akan dibahas oleh penulis adalah legenda Kuntilanak yang
berasal dari Indonesia (Pontianak) dan legenda (Ko-sodate Yuurei) yang
berasal dari Jepang (Kyoto). Kedua legenda tersebut termasuk dalam Legenda Alam
Gaib.
Legenda Kuntilanak menceritakan tentang seorang wanita yang meninggal
sacara tragis dan mengalami gangguan jiwa hingga depresi. Pada awalnya ia
adalah seorang gadis yang sangat cantik dan mempunyaai suami yang sangat
tampan. Namun dia tidak mau menerima kodratnya sebagai seorang wanita, yaitu
tidak mau hamil dan melahirkan. Kemudian pada saat melahirkan, gadis tersebut
ditemukan meninggal setelah memakan orok yang dilahirkan dari rahimnya. Karena
kematiannya tidak wajar, maka roh wanita tersebut sering menampakkan diri
beserta anak yang dilahirkannya dan sejak itu rohnya mengganggu ketenangan
penduduk setempat.
Pada legenda (Ko-sodate Yuurei) menceritakan tentang hamilnya
seorang gadis tanpa tahu siapa yang menghamilinya. Orang tua gadis itu sangat
malu mengetahui kondisi anak mereka, sehingga mereka mengurung gadis itu dalam
kamar hingga berhari-hari sampai gadis itu meninggal dengan kondisi masih
mengandung. Ketika mengetahui anak gadisnya meninggal, mereka memakamkannya
dengan meletakkan 6 keping uang emas di petinya. Setiap malam gadis yang telah
meninggal itu selalu muncul di warung dekat pemakaman untuk membeli sebatang
permen yang gagangnya terbuat dari bambu. Karena curiga, penjual permen
tersebut mengikuti wanita tersebut. Ternyata wanita itu masuk ke liang lahat,
dan penjual permen itu melihat ada seorang anak kecil yang sedang makan permen
dan sesosok mayat wanita yang telah membusuk.
Penulis tertarik untuk membahas mitos yang beredar pada masyarakat luas yang
mana masih berkaitan dengan kedua legenda alam gaib tersebut. Keduanya
mempunyai simbol yang sama dan digambarkan dalam bentuk yang serupa.
Legenda (Ko-sodate Yuurei) (Jepang) mengisahkan sosok hantu yang
digambarkan menyerupai perempuan yang berambut panjang dengan memakai kimono
putih panjang yang menampakkan diri pada penduduk tanpa ada maksud menakuti
tetapi hanya untuk membeli gula-gula yang akan diberikan kepada anak yang telah
dilahirkannya dalam kubur sebagai bentuk rasa kasih sayangnya kepada sang anak.
Kuntilanak (Indonesia) merupakan sosok hantu yang digambarkan sebagai
perempuan berambut panjang namun memakai kain putih panjang (kain kafan) dan
berwajah cantik. Dia sering menampakkan diri pada para penduduk, akan tetapi
jika ia bertemu dengan orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya semasa
masih hidup, maka sosoknya akan berubah menjadi sangat menyeramkan lalu
biasanya membunuh untuk membalas dendam.
METODOLOGI
Kajian bandingan antar disiplin ilmu merupakan bandingan antara karya
sastra dengan bidang lain, misalkan kepercayaan, politik, agama, seni, dan
sebagainya. Titik tolak bandingan adalah pada karya sastra, sedangkan bidang
lain berfungsi untuk memperjelas indormasi sastra. Peneliti kemudian
membandingkan kedua bidang itu dengan harapan untuk mendapatkan informasi
keilmuan yang handal.
Penulis dalam skripsi ini mencoba menganalisis perbandingan mitos dari
legenda mengenai hantu yang berasal dari Jepang dan Indonesia, yaitu legenda (Ko-sodate
Yuurei) (Jepang) dan legenda Kuntilanak (Indonesia).
Jenis
Legenda
Legenda (Ko-sodate Yuurei) dan legenda Kuntilanak merupakan cerita
yang termasuk dalam legenda alam gaib, karena kedua legenda tersebut berbentuk kisah
yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami oleh seseorang. Fungsi
legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau
kepercayaan rakyat (Danandjaja, 1997 : 67).
Jenis
Mitos
Mitos yang terdapat pada legenda (Ko-sodateYuurei) dan legenda
Kuntilanak merupakan jenis mitos simbolis atau spekulatif. Mitos simbolis atau
spekulatif adalah jenis mitos yang dapat menafsirkan secara simbolis tata
semesta alam atau tata masyarakat negara yang mempunyai legenda tersebut
(Hartoko, 1998 : 55)
Mitos Tentang (Ko-sodateYuurei)
Legenda mengenai (Ko-sodateYuurei) sangat popular di kalangan masyarakat Jepang. Di Jepang (Ko-sodateYuurei)
termasuk dalam jenis (Ubume), yaitu hantu wanita yang meninggal ketika
melahirkan (dalam kubur) sehingga meninggalkan anak yang masih bayi dan hantu
tersebut selalu kembali untuk merawat anaknya dengan membawa gula-gula.
Dikisahkan pada jaman dahulu kala ada seorang
wanita yang hamil di luar nikah. Ketika orang tuanya bertanya siapa ayah dari
anak yang dikandungnya tersebut, wanita itu tidak mau memberitahukannya.
Orang tuanya murka kemudian segera mengurung
wanita itu dalam kamar selama berhari-hari dan tidak diberi makan sampai wanita
tersebut meninggal. Orang tuanya merasa bersalah dengan hal itu. Wanita itu
dikubur dalam keadaan masih mengandung. Orang tua wanita itu mengubur jasadnya
dengan menyelipkan 6 keping uang emas ke dalam peti.
Kemudian pada suatu malam, pemilik warung dekat
makam wanita tersebut didatangi oleh seorang wanita berwajah pucat, berambut
panjang dan memakai kimono putih (hal ini terlihat pada gambar ilustrasi dalam
buku (Manga Nihon Mukashi Banashi). Dia membeli sebatang gula-gula
dengan membawa sekeping uang emas.
Wanita itu datang setiap tengah malam selama 6
hari berturut-turut. Hari keberikutnya pemilik warung terkejut karena wanita
itu tidak membayar dengan uang emas melainkan dengan selembar daun. Pemilik
warung curiga, lalu ia bersama tetangga segera menyelidiki kenama wanita itu
pergi setelah meninggalkan warung.
Alangkah terkejutnya mereka (pemilik warung dan
para tetangga) ketika membuntuti kemana wanita misterius itu pergi. Mereka
melihat dengan mata dan kepala sendiri bahwa wanita itu ternyata pergi ke arah
pemakanan dan tiba-tiba menghilang ke dalam salah satu makam.
Mereka segera menggali makam tersebut dan
menemukan sosok bayi mungil sedang menjilati sebatang gula-gula yang sepertinya
baru dibeli. Setelah orang-orang desa mendoakan arwah wanita itu dan pada
akhirnya arwah wanita tersebut tidak menampakkan diri lagi di daerah itu.
Akhir legenda tersebut beragam, ada yang
menyebutkan bahwa bayi tersebut tetap hidup dan diasuh oleh orang tua wanita
itu sampai dewasa hingga akhirnya menjadi biksu, namun ada juga yang
menyebutkan bahwa bayi tersebut menjadi hantu seperti ibunya karena dilahirkan di dalam kubur.
Penelitian tentang “Perbandingan Mitos pada Legenda (Ko-sodate Yuurei) (Jepang)
dan Legenda Kuntilanak (Indonesia)” merupakan penelitian Kualitatif. Penelitian
ini digunakan untuk memperoleh deskripsi jawaban dari rumusan masalah yang
telah tersebut di atas. Metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Dalam hal ini pengertian tentang
metodologi penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005 : 6). Oleh karena
itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, artinya
data-data yang dianalisis berupa kata-kata dan bahasa.
Data kualitatif adalah data yang di peroleh dari rekaman, pengamatan,
wawancara, atau bahan tertulis ( Sumaryati, 2000 : 9 ). Sumber data utama dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kumpulan cerita lama Manga Nihon
Mukashi Banashi 100 Banashi volume 3 karya Kawauchi Ayatomomi dengan sub
cerita (Ko-sodate Yuurei). Diterbitkan pada tahun 1985. Ukuran buku
adalah 25,5 cm x 19,5 cm. Buku tersebut terdiri dari 308 halaman. Legenda (Kosodate
Yuurei) terdapat pada halaman 226-227. Sampul depan terdapat gambar
ilustrasi cerita rakyat Jepang.
2. Buku cerita “Seri Legenda dari Kalimantan
PONTIANAK” jilid pertama daan kedua yang diceritakan kembali oleh J.Rio
Purbaya. Diterbitkan pada tahun 1999. Jilid pertama terdiri dari 59 halaman dan
jilid kedua terdiri dari 63 halaman. Sampul depan terdapat gambar ilustrasi
Kuntilanak.
Sedangkan data penunjang dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Novel “Kuntilanak” karya Ve Handojo.
Ukuran buku 19 cm x 11,4 cm. Tebal buku 174 halaman, diterbitkan pertama kali
pada tahun 2006. Cetakan kedua tahun 2006, cetakan ketiga tahun 2007. Sampul
depan terdapat gambar poster film Kuntilanak.
2.
Film
“Kuntilanak” yang disutradarai Rizal Mantovani dan diperankan oleh Jullie
Estelle, Evan Sanders dan Ratu Felisha. Ditayangkan pertama kali di layar lebar
pada tahun 2006. Durasi film 1,5 jam.
3. (Nihon Minwashu Kaguya-Hime)
Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan 2 karya Antonius R. Pujo Purnomo
dengan sub cerita Beranak Dalam Kubur yang terdapat pada halaman 102-104. Ukuran
buku 14,5 cm x 30,5 cm. Tebal buku 180 halaman. Sampul depan
bergambar Kaguya Hime (Putri Kaguya).
Data penelitian ini berupa kutipan kalimat yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti yaitu mitos yang terdapat pada legenda (Ko-sodate Yuurei) dan
legenda Kuntilanak.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, sehingga untuk
memperoleh data menggunakan metode analisis serta mendeskripsikan legenda
Indonesia “Kuntilanak” dan legenda Jepang (Ko-sodate Yuurei) sebagai
sumber data utama serta artikel-artikel dari internet dan film sebagai sumber
data penunjang. Penulis juga menggunakan telaah pustaka yang digunakan untuk
referensi data yang telah dianalisis dan dideskripsikan sebagai penunjang
maupun sebagai landasan mengadakan penelitian.
ANALISA
Legenda (Ko-sodateYuurei) terdapat pada
buku (Manga Nihon Mukashi Banashi) halaman 226-227. Data-data berupa
kalimat yang menghubungkan dengan mitos (Ko-sodateYuurei) tersirat dalam
kutipan-kutipan kalimat berikut :
Data
I :
とんとん。。。と、戸をたたく音がします。はて、こんなおそくにだれだろう?と、戸をあけてみますと、女の人が立っていました。「あの、あめをくださいな。」見かけない人です。あめ屋さんはそのとき、なんとなくぞくぞくするような感じをおぼえました
Tok…tok…tok…,
terdengar suara ketukan dari arah pintu. Penjaga toko heran, siapa tengah malam
begini mengetuk pintu? …. Ketika pintu dibuka, ternyata ada seorang wanita
berdiri lalu berkata ‘tolong minta gula-gula ya.’. Orang yang tidak jelas. Pada
saat itu sang penjaga toko merasakan desiran aneh (1985 : 226).
Analisis data 1 :
Berdasarkan data 1, tersirat bahwa sang penjaga toko merasakan adanya hal
yang ganjil pada wanita misterius itu. Saat tengah malam tidak mungkin ada
wanita dengan sengaja mengetuk pintu toko hanya untuk membeli sebatang
gula-gula. Sang penjaga toko beranggapan bahwa wanita misterius tersebut
mungkin bukan wanita karena merasakan desiran aneh ketika melihat wajahnya.
Situasi yang terdapat pada data 1 adalah pada saat tengah malam di sebuah toko yang menjual gula-gula.
Sang penjaga toko hanya seorang diri ketika wanita misterius tersebut datang.
Kedatangan wanita tersebut saat tengah malam membuat sang penjaga toko
merinding. Wanita tersebut pada keesokan harinya kembali datang untuk membeli
gula-gula dalam hal tersebut terjadi setiap tengah malam.
Hantu wanita tersebut pada 6 hari pertama membeli gula-gula membayar dengan
uang emas, namun hari berikutnya dia membayar dengan lembaran daun (Purnomo,
2007 : 103). Lembaran-lembaran daun tersebut membuat sang penjaga toko semakin
yakin bahwa wanita tersebut bukan manusia.
Hal itu sesuai dengan mitos yang beredar di masyarakat Jepang khususnya di
daerah asal legenda tersebut, yaitu di daerah Kyoto bahwa (Ko-sodate Yuurei)
adalah sosok hantu yang berwujud wanita bermuka pucat dan dipercaya pernah
muncul pada saat tengah malam untuk membeli gula-gula.
Data 2
女は、林をぬけ、となり村へと歩いてきます。そして。。。、「は、墓だ。。。」墓場の中をいくうちに、とつぜん女のすがたはきえてしまったのです
Wanita itu setelah membeli gula-gula segera
berjalan ke arah desa sebelah. Kemudian mereka berseru...’Ku.. kuburan..’.
Setelah masuk ke daerah pemakaman, sosok wanita itu tiba-tiba menghilang (1985
227).
Analisis
data 2
Situasi yang tersirat pada data di atas adalah pada saat tengah malam
karena seperti yang telah dibahas pada analisis data 1, wanita itu seringkali
muncul pada saat tengah malam untuk membeli gula-gula. Kata mereka dalam
kutipan di atas adalah para warga desa yang penasaran akan cerita dari penjual
toko gula-gula tentang kemunculan wanita misterius yang datang tengah malam
hanya untuk membeli sebatang gula-gula.
Sesaat setelah hantu wanita itu membeli gula-gula, para warga mengikuti ke
mana arah wanita misterius itu pergi. Para warga sangat terkejut karena wanita
misterius itu menuju ke arah pemakaman kemudian menghilang. Dari peristiwa
tersebut para warga yakin bahwa wanita misterius yang setiap malam membeli
gula-gula bukan seorang manusia melainkan sesosok hantu.
Hal tersebut menguatkan mitos yang beredar di masyarakat bahwa pada zaman
dahulu di daerah Kyoto, Jepang, memang pernah ada hantu wanita yang datang
tengah malam untuk membeli gula-gula. Hantu wanita tersebut dikenal dengan
sebutan (Ko-sodate Yuurei) yang dapat diartikan sebagai hantu pemelihara
anak, karena di dalam liang lahat makam wanita itu ditemukan bayi yang sedang
memakan gula-gula.
Legenda Kuntilanak terdapat pada buku Seri Legenda dari Kalimantan PONTIANAK
jilid 1 daan 2. Data-data berupa kalimat yang berhubungan dengan mitos
Kuntilanak tersirat dalam kutipan-kutipan kalimat berikut :
Data 1
:
Intan
lemang menjadi begitu berubah, hingga dalam waktu yang begitu singkat, rupanya
ia benar-benar telah berubah meniadi orang yang hilang ingatan, gila; meskipun
anaknya telah lahir dalam keadaan selamat, tetapi itu tidak bisa menghibur
hatinya lagi. Atau membuatnya menjadi senang...; bayi yang masih lemah dan
merah itu diraih dan digigitnya….! Hingga...sungguh kasihan, mengenaskan dan
mengerikan sekali. bayi merah itu akhirnya mati tercabik-cabik, dicabik-cabik
oleh ibu kandungnya sendiri... !! (Jilid 1, 1999 :30).
Analisis
data 1 :
Berdasarkan data 1, disebutkan bahwa Intan Lemang secara tiba-tiba berubah
sikap. Situasi tersebut terjadi saat malam hari. Peristiwa yang terjadi pada
data di atas adalah saat dimana Intan Lemang telah melahirkan di kamar seorang
diri tanpa bantuan siapapun, karena sang suami sedang memanggil dukun beranak
yang rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Ketika dia benar-benar
seorang diri, dia kerasukan sesuatu kemudian beranggapan bahwa suaminya tidak
lagi peduli terhadap dirinya dan sama sekali tidak bahagia dengan anak yang
telah dilahirkannya.
Intan Lemang yang telah hilang ingatan dan dalam kondisi kemarahan yang
memuncak kemudian memakan orok bayinya sendiri. Bayi merah itu akhirnya
meninggal secara mengenaskan karena dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri.
Data di atas menguatkan mitos tentang Kuntilanak di Indonesia khususnya di
daerah Pontianak. Mitos yang beredar di masyarakat adalah hantu Kuntilanak amat
suka menculik bayi-bayi yang baru lahir (masih merah) dan bila ditemukan lagi,
bayi itu tidak bernyawa karena kepalanya telah berlubang atau terdapat bekas
gigitan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Data 2 :
Begitulah...,
akhirnya jiwa Intan Lemang tidak tertolong..., dan ... sebelumnya ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir .... ia sempat bersumpah-bahwa arwahnya
akan menuntut balas ... ! Dia merasa dendam kepada semua laki-laki juga kepada
wanita-wanita yang sedang hamil dan ... kepada anak yang baru lahir….! Sebab
menurut anggapannya. merekalah yang membuat dirinva meniadi begitu tersiksa,
menderita, hingga mati, menemui ajalnya...! (Jilid 1, 1999 : 32).
Analisis data 2 :
Data di atas menunjukkan bahwa sebelum Intan Lemang menghembuskan nafasnya
yang terakhir dia sempat bersumpah bahwa arwahnya akan menuntut balas kepada
semua laki-laki, wanita yang sedang hamil dan anak yang baru lahir. Situasi
pada data tersebut terjadi pada saat suami Intan Lemang pulang ke rumah bersama
dukun beranak. Anang Bayo sangat terkejut melihat kondisi istrinya yang
mengenaskan. Dia ketakutan mendengar sumpah Intan Lemang yang sempat terucap
sebelum dia meninggal.
Intan Lemang menganggap bodoh kepada para wanita yang mau hamil dan
melahirkan bayinya dengan begitu pasrah dan bahagia. Intan Lemang juga membenci
suara tangis kelahiran bayi sehingga dia ingin selalu mencelakakan dan memangsa
bayi.
Hal ini menguatkan mitos tentang hantu Kuntilanak yang beredar di
Indonesia. Konon, hantu Kuntilanak sangat dendam atau membenci kaum laki-laki
dan wanita yang sedang hamil. Menurut anggapan Kuntilanak, kaum laki-laki
adalah penyebab utama kematiannya, karena jika dia tidak jatuh cinta dan menikah
dengan laki-laki dia tidak akan hamil, tidak akan pernah kesakitan yang begitu
sangat menyiksa seperti ketika dia hendak melahirkan bayinya.
Karena adanya mitos tersebut di Indonesia terdapat tradisi membawa
benda-benda tajam seperti jarum, peniti atau gunting bagi para wanita hamil.
Berdasarkan kepercayaan dan tradisi masyarakat, Kuntilanak tidak akan
mengganggu wanita hamil bila wanita tersebut selalu membawa paku, pisau, dan
gunting bila bepergian ke mana saja (Dofi, 2007 : 12). Hal ini menyebabkan seringnya
ditemui kebiasaan meletakkan gunting, jarum dan pisau di dekat tempat tidur
bayi atau gunting yang menggantung pada baju ibu hamil di bagian perutnya.
Pandangan
Masyarakat Jepang terhadap Legenda (Ko-sodate Yuurei)
Legenda (Ko-sodate Yuurei) adalah sebuah legenda lam gaib yang
berasal dari distrik Higashiyama, Kyoto (Purnomo, 2007 : 104).
Masyarakat Kyoto masih mempercayai tentang adanya hantu Kosodate. Hal
itu dapat dibuktikan dengan adanya toko pusat penjualan permen yang terletak di 140 m ke arah timur daya jalan Matsubara,
jalan raya Yamato (www.google.com/yuurei.ko-sodate.ame.jp). Di seberang jalan toko itu terdapat (nishifuku tera) (Kuil
Nishifuku) yang didalamnya terdapat (Kosodate jizo) (patung Dewa
Pelindung Anak).
Masyarakat Jepang khususnya Kyoto dalam menyikapi adanya legenda hantu
tersebut amatlah positif dibandingkan dengan pandangan masyarakat Indonesia.
Masyarakat Jepang menganggap (Ko-sodate Yuurei) adalah hantu yang sangat
menyayangi anaknya meskipun dia sudah berbeda dunia dengan anaknya.
Hantu tersebut rela membeli permen tengah malam agar bayinya tidak
kelaparan. Karena sikap keibuan hantu tersebut, maka masyarakat Kyoto
mengabadikannya dalam bentuk permen yang sudah dibahas oleh peneliti
sebelumnya. Permen tersebut dinamakan sesuai dengan nama hantu tersebut yaitu (yuurei
kosodate ame). Dalam website (www.google.com/yuurei.ko-sodate.ame.jp) ada sebuah artikel yang menyebutkan
bahwa permen (yuurei kosodate ame) beserta
kisahnya sudah terkenal di kalangan para turis. Berikut adalah kutipan kalimat
tersebut :
Data 1 :
Permen ini
terkenal di kalangan para turis. Mengapa namanya aneh seperti itu? Dinamakan
seperti itu karena dahulu kala di sekitar situ pada larut malam ada seorang
wanita yang datang membeli permen ketika diteliti sebenarnya dia itu wanita
yang meninggal pada saat sedang hamil dan melahirkan di dalam kuburan, dan
bayinya sedang menjilati permen. Seperti itulah legenda setempat yang ada (www.google.com/yuurei.ko-sodate.ame.jp).
Analisis data 1 :
Berdasarkan data di atas tersirat bahwa masyarakat Jepang sangat menghargai
keberadaan hantu Ko-sodate. Bisa dibuktikan dengan adanya permen (yuurei
kosodate ame) yang sangat terkenal hingga mancanegara.
Masyarakat Kyoto tidak takut dengan adanya legenda hantu Kosodate. Mereka
mempromosikan permen tersebut kepada para wisatawan sebagai simbol dari mitos (Ko-sodate
Yuurei) yang telah melekat pada benak para masyarakat Kyoto.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa pandangan masyarakat Jepang
terhadap legenda (Ko-sodate Yuurei) adalah positif. Masyarakat Kyoto
sama sekali tidak takut membeli permen (yuurei
kosodate ame). Mereka bahkan sangat suka karena di dalam permen tersebut
terkandung gizi yang bermanfaat dan lagipula bahan dasarnya terbuat dari bahan
alami.
Pandangan
Masyarakat Indonesia terhadap Legenda Kuntilanak
Masyarakat Indonesia yang masih tinggal di
daerah pedesaan atau yang adat istiadatnya masih kental, amat sangat percaya
apabila makhluk Kuntilanak memang ada. Masyarakat yang berada di daerah asal
Kuntilanak yaitu kota Pontianak, bahkan mengadakan upacara memberikan sesaji di
sungai (di daerah delta) yang disebut dengan ritual robo-robo (http://www.pontianak.web.id/index.php?pilih=hal&id=2).
Hantu Kuntilanak dalam legenda asal usul
Pontianak dikisahkan banyak berkeliaran di sekitar sungai, apalagi di daerah
delta. Masyarakat Pontianak melakukan ritual tersebut bertujuan untuk meminta
keselamatan supaya tidak diganggu oleh makhluk halus. Begitu dalamnya legenda-legenda
tentang hal-hal yang berbau mistik seperti ini membuat masyarakat Indonesia selalu
mengadakan ritual-ritual tertentu di hari-hari yang dianggap sebagai hari
keramat.
Kebiasaan masyarakat untuk terhindar dari penculikan yang dilakukan oleh
Kuntilanak tersirat pada kutipan kalimat yang diambil dari buku Psikologi
Makhluk Halus berikut :
Data 1
:
Biasanya
bagi para ibu hamil atau wanita yang baru saja melahirkan anak akan selalu
membawa jimat berupa benda-benda tajam seperti gunting, jarum atau silet
sebagai pelindung agar Kuntilanak urung untuk mendekati mereka (2007, 27).
Analisis
data 1 :
Berdasarkan data di atas, semua tradisi tersebut merupakan salah satu
sarana untuk menghindari agar Kuntilanak tidak datang mengganggu bayi-bayi
mereka. Benda-benda tajam tersebut biasanya diletakkan pada baju para ibu
hamil.
Benda-benda tajam tersebut dipercaya dapat menangkal serangan hantu
Kuntilanak. Kuntilanak akan pergi setelah kepalanya ditusuk dengan benda-benda
tajam tersebut pandangan masyarakat Indonesia terhadap hantu Kuntilanak adalah
negatif.
Hasil
Pembahasan
Hasil penelitian berdasarkan data-data berupa kalimat yang telah dianalisis
dapat disimpulkan :
1.
Jenis
mitos yang terdapat dalam legenda (Ko-sodateYuurei) (Jepang) dan legenda
Kuntilanak (Indonesia) termasuk dalam jenis mitos simbolis (data 1-5). Jenis
mitos simbolis merupakan mitos yang mencerminkan tata semesta alam maupun tata
masyarakat negara asal legenda tersebut (Hartoko, 1998 : 55).
2. Pandangan masyarakat Jepang khususnya
masyarakat daerah Kyoto terhadap hantu (Ko-sodate) dianggap
positif maksudnya (Ko-sodate) di daerah Kyoto dianggap sebagai
hantu yang baik, tidak menakutkan dan selalu mengasihi anak-anak (data 1-2).
Sedangkan pandangan masyarakat Indonesia terhadap hantu Kuntilanak dianggap
negatif maksudnya hantu Kuntilanak di Indonesia dianggap sebagai hantu yang
jahat, menyeramkan dan suka menculik anak-anak (data 1-2)
Simpulan
Untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua, dari analisis data
diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Legenda (Ko-sodate Yuurei) dan
legenda Kuntilanak mempunyai persamaan dari segi jenis mitosnya. Kedua legenda
tersebut termasuk dalam jenis mitos yang sama yaitu mitos simbolis. Mitos
simbolis merupakan mitos yang dapat mencerminkan tata semesta alam maupun tata
masyarakat negara asal legenda tersebut (Hartoko, 1998 : 55). Mitos yang
dipercaya oleh masyarakat tentang legenda (Ko-sodate Yuurei) dan legenda
Kuntilanak adalah sebagai berikut :
a. Mitos tentang hantu (Ko-sodate Yuurei) adalah
hantu yang bersifat keibuan, baik hati, sangat menyayangi anaknya.
b. Mitos tentang Kuntilanak adalah hantu yang
jahat, menyeramkan dan suka menculik anak kecil.
2. Legenda (Ko-sodate Yuurei) dan
legenda Kuntilanak mempunyai perbedaan dari segi pandangan masyarakat asal
kedua legenda tersebut. Pandangan masyarakat Jepang dan Indonesia terhadap
masing-masing legenda tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pandangan masyarakat Jepang terhadap
legenda (Ko-sodate Yuurei) adalah positif karena terbukti permen (yuurei
kosodate ame) amat laris di pasaran hingga menarik perhatian para turis
untuk mencicipinya. Cita rasa permen (yuurei kosodate ame) memang
terkenal enak karena terbuat dari bahan-bahan alami pilihan selain itu permen
ini mengandung gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh.
b. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap
legenda hantu Kuntilanak adalah negatif Kuntilanak di Indonesia dianggap
menakutkan dan seolah-olah tidak diinginkan. Terbukti dengan adanya tradisi
para ibu hamil dianjurkan membawa jimat berupa benda-benda tajam agar bayinya
tidak ‘hilang’ akibat diambil Kuntilanak secara gaib.
REFERENSI
Ayatomomi,
Kawauchi. 1985. Manga Nihon Mukashi Banashi 100 Banashi volume 3. Japan
: Aikikaku Center
Cremers, Agus.
1997. Antara Alam dan Mitos. Flores : Nusa Indah
Danandjaja,
James. 1997. Folklor Jepang : Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti
Danandjaja,
James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta:, Pustaka Utama Grafiti. Cetakan
VII (Cetakan I 1984)
Dofi, Bellavia
A. 2007. Psikologi Makhluk Halus. Jakarta : Inti Media Publisher
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama
Hartoko, Dick
dan B Rahmanto. 1998. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta : Kanisius
Handojo, Ve.
2007. KUNTILANAK. Jakarta : Gagas Media. Cetakan III (Cetakan I 2006)
Magnis, Franz
dan Suseno SJ. 2003. ETIKA JA WA. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Cetakan
XI (Cetakan I 1984)
Marthalena,
dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia
Mido, Frans.
1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Flores NTT Indonesia : Nusa
Indah
Moleong, Lexy
J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung : PT
Remaja Rosda Karya
Nurgiyantoro,
Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press
Oemarjati, Boen
S. 1962. Roman Atheis Achdiat K Mihardja : Satu Pembitjaraan. Djakarta :
Gunung Agung
Purbaya, J.Rio.
1999. Seri Legenda dari Kalimantan PONTIANAK (jilid pertama). Bandung :
Pionir Jaya
Purbaya,
J.Rio. 1999. Seri Legenda dari Kalimantan PONTIANAK (jilid kedua). Bandung
: Pionir Jaya
Purnomo,
Antonius R. Pujo. 2007. Nihon Minwashu Kaguya-Hime Kumpulan Cerita Rakyat
Jepang Pilihan 2. Surabaya : Era Media
Ross, Catrien.
2007. Mistik Jepang. Yogyakarta : Pinus Book Publisher
Sudjiman,
Panuti (Ed). 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II (Cetakan I 1984)
Sudjiman,
Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya
Sumaryati,
M.L.A, 2000. Prinsip Prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung
: Yayasan Nuansa Cendekia
Tim Penyusun,
2005. Buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni. Departemen
Pendidikan Nasional Universitas Negeri Surabaya.
Wellek, Rene
dan Austin Warren. 1966. Theory of Lyterature. London : Jonathan Cape
http://www.budiey.com/kuntilanak-vs-urband-leaend
diakses pada tanggal 10 November 2007 pukul 16.00 WIB.
JUDI YANG MENCANDU DALAM
NOVEL THE
GAMBLER KARYA FYODOR DOSTOEVSKY
Achmad
Fanani
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum
Abstract
The Gambler is a novel
written by Fyodor Dostoevsky about a young
teacher who worked
in the family of a Russian general who was
once a wealthy man. This novel,
as can be seen in the back-cover novel, is
a reflection of the addiction
to gambling roulette
author. Dostoevsky completed the writing of this novel in a very
short deadline so that
he can pay off gambling debts
Keywords: Gambler, Gambling, Addicted
Perjudian, sama halnya dengan pelacuran, telah ada dimuka bumi sama
dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa
menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah
dalam permainan judi melawan Kurawa. Di dunia barat perilaku berjudi sudah
dikenal sejak jaman Yunani kuno. Keanekaragaman permainan judi dan tekniknya
yang sangat mudah membuat perjudian dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru
dunia.
Sama seperti bangsa-bangsa lain di dunia, perilaku berjudi juga merebak
dalam masyarakat Indonesia .
Namun karena hukum yang berlaku di INDONESIA tidak mengijinkan adanya
perjudian, maka kegiatan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perjudian
dalam masyarakat Indonesia
dapat dijumpai di berbagai lapisan masyarakat. Bentuk-bentuk perjudian pun
beraneka ragam, dari yang tradisional seperti perjudian dadu, sambung ayam,
permainan ketangkasan, tebak lagu sampai pada penggunaan teknologi canggih
seperti judi melalui telepon genggam atau internet.
The Gambler adalah sebuah novel
yang ditulis oleh Fyodor Dostoevsky tentang seorang pengajar muda yang bekerja
di keluarga seorang jenderal Rusia yang dulunya adalah orang yang kaya raya.
Novel ini, seperti yang dapat dilihat di back-cover
novel, merupakan cerminan dari kecanduan penulis akan judi roulette. Dostoevsky
menyelesaikan penulisan novel ini dalam tenggat waktu yang sangat singkat agar
dia dapat melunasi hutang-hutang judinya.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang bagaimana judi dapat begitu
mencandu dan apakah tokoh utama dalam novel ini, Alexei Ivanovich, dapat
dikategorikan sebagai seorang pathological
gambler, yaitu tingkatan penjudi yang paling parah.
Judi yang mencandu
Money won is twice as sweet as money earned
– dari film “The Color of Money.”
Menarik menyimak apa yang diceritakan dalam The Gambler. Cerita sentral dalam novel ini adalah tentang
perjalanan seorang laki-laki yang terjerumus ke dalam permainan judi dan
berharap mendapat keuntungan dari meja-meja judi. Banyak cara dan teknik yang
dia lakukan untuk mendapatkan kemenangan dari permainan untung-untungan ini.
The Gambler menekankan bahwa
judi adalah permainan yang sangat mencandu, bahkan bagi orang yang paling awam
sekalipun. Alexey Ivanovich pada
awalnya bukanlah seorang penjudi. Dia berjudi karena diminta oleh Polina,
seorang wanita yang dia cintai. Tetapi setelah dia mencoba bertaruh dan
kemudian merasakan manisnya kemenangan, dia lantas menjadi begitu keranjingan
dan terus ingin mengulang (hal. 19-30). Memang, seperti kata-kata dalam film
The Color of Money, “Money won is twice as sweet as money earned”
(Uang yang dimenangkan
(dari perjudian) terasa dua kali lebih manis dari pada uang yang didapat (dari
pekerjaan)), uang yang didapat oleh Alexey Ivanovich seperti sebuah manisan
yang membuat orang tergoda untuk mengulang dan terus mengulang sekali lagi.
Kalau sudah kecanduan, kekalahan atau rasa sakit bukanlah masalah. Orang yang
sudah kecanduan judi tidak akan mempedulikan apakah dia akan kalah atau menang.
Yang terpenting baginya adalah bermain dan merasakan ketegangan-ketegangan.
Bagaimana judi sangat mencandu
juga terlihat pada diri Granny. Granny adalah seorang wanita tua renta berusia
70 tahun yang bahkan sudah tidak berdaya. Tetapi ketika dia mulai bermain judi
dan merasakan manisnya kemenangan (keberuntungan), dia juga menjadi kecanduan
(hal. 145-155). Dia selalu ingin mengulang sensasi kemenangan. Dan kalaupun
kalah, dia akan berusaha keras mengejar dan mendapatkan apa yang telah hilang
tersebut. Bagi seorang penjudi, uang dapat cepat didapat dan juga dapat cepat
hilang. Semuanya tergantung pada keberuntungannya waktu itu.
Selain
itu novel The Gambler juga
menggambarkan bagaimana seseorang dapat begitu terobsesi dengan permainan judi.
Bagaimana seseorang yang tadinya hanya melakukan permainan judi untuk sekedar
iseng untuk melewati waktu luang, akhirnya terpuruk menjadi penjudi yang
ketagihan dan lebih parah lagi menjadi penjudi yang sarat problem, baik
kejiwaan maupun struktur keuangan, serta kacaunya stuktur kewajiban (kerja,
keluarga dan sebagainya).
Dalam novel
ini paling tidak tergambar tiga tahap seseorang menjadi seorang pencandu judi.
Yang pertama adalah tahap kemenangan. Fase ini menekankan jika pada
permulaannya pemain mendapatkan kemenangan, dia akan cenderung untuk terus
mengulangnya. Pertama dia main dengan uang kecil tetapi ketika mulai menang dia
akan bermain dengan uang yang lebih besar – seperti yang terlihat pada apa yang
dilakukan oleh Alexey maupun Granny. Keoptimisan untuk menang akan selalu
menyertai langkahnya. Nilai uang menjadi lain untuk si pemain. Dan uang menang
menjadi status. Ini menjadi dorongan mau menjadi lebih. Lama kelamaan menjadi
integrasi dengan kelakuannya. Umumnya si pemain kehilangan realitas dengan
suksesnya dan merasa hebat dengan wawasannya mengenai permainan judi. Tetapi
moment tertentu krusial: fase berikutnya datang.
Yang kedua adalah tahap kalah.
Dalam
tahap ini si pemain sudah mulai sering kalah – Alexey dan
Granny juga mengalaminya – dia mulai mendapat perasaan bahwa dia juga bisa
kalah, dengan ini harga dirinya mulai kacau. Dia hanya melihat jalan
satu-satunya bermain lebih intensif, dengan harapan kekalahannya atau
kerugiannya bisa kembali. Problem paling besar baginya adalah bagaimana
mendapat uang supaya bisa main judi. Dalam tahap ini seseorang menjadi mudah
tersinggung dan marah-marah seperti apa yang terjadi pada Granny. Ini akan
terjadi kumulatif dan terjadi fase baru untuk dia.
Terakhir adalah tahap putus
asa. Kekalahan demi kekalahan akan membuat si pemain putus asa.
Tahap ini juga tergambar pada tokoh Alexey dan Granny. Mereka mengalami
keputusasaan karena terus mengalami kekalahan. Uang mereka habis karena
berjudi. Si pemain mendapatkan efek tragis karena kelakuannya. Hutang
bertumpuk, kehilangan sosial kontak dan relasi, biasanya kehilangan kerja,
income, psikis dan fisik banyak keluhan. Alexey bahkan sempat dipenjara gara-gara
permainan ini.
Apakah Alexei Ivanovich seorang Pathological Gambler?
Karena novel ini banyak bercerita tentang seorang yang kecanduan akan
perjudian, maka menarik untuk melihat apakah sang tokoh utama, Alexei
Ivanovich, dapat dikategorikan sebagai seorang pathological gambler. Pathological
gambler disebut juga dengan compulsive
gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya melepaskan
diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi untuk
berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi dan
jumlah taruhan, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga,
karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya.
American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan ciri-ciri pathological gambling sebagai berikut: "The essential features of pathological
gambling are a continuous or periodic loss of control over gambling; a
progression, in gambling frequency and amounts wagered, in the preoccupation
with gambling and in obtaining monies with which to gamble; and a continuation
of gambling involvement despite adverse consequences" .
Meskipun pola perilaku berjudi ini tidak melibatkan ketergantungan
terhadap suatu zat kimia tertentu, namun menurut para ahli, perilaku berjudi
yang sudah masuk dalam tingkatan ini dapat digolongkan sebagai suatu perilaku
yang bersifat adiksi (addictive disorder). DSM-IV (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders-fourth edition) yang dikeluarkan oleh APA
menggolongkan pathological gambling ke dalam gangguan mental yang disebut
Impulse Control Disorder. Menurut DSM-IV tersebut diperkirakan 1% - 3% dari
populasi orang dewasa mengalami gangguan ini. Individu yang didiagnosa mengalami
gangguan perilaku jenis ini seringkali diidentifikasi sebagai orang yang sangat
kompetitif, sangat memerlukan persetujuan atau pendapat orang lain dan rentan
terhadap bentuk perilaku adiksi yang lain. Individu yang sudah masuk dalam
kategori penjudi patologis seringkali diiringi dengan masalah-masalah kesehatan
dan emosional. Masalah-masalah tersebut misalnya kecanduan obat (Napza),
alkoholik, penyakit saluran pencernaan dan pernafasan, depresi, atau masalah
yang berhubungan dengan fungsi seksual (Pasternak dan Fleming, 1999).
Adapun kriteria individu yang dapat digolongkan sebagai penjudi yang
patologis menurut DSM-IV Screen (alat yang digunakan untuk mengukur tingkatan
penjudi) adalah jika individu tersebut menunjukkan 5 (lima ) faktor atau lebih dari faktor-faktor
sebagai berikut:
·
Preoccupation.
Terobsesi dengan perjudian (contoh. sangat terobsesi untuk mengulangi
pengalaman berjudi yang pernah dirasakan dimasa lalu, sulit mengalihkan
perhatian pada hal-hal lain selain perjudian, atau secara khusus memikirkan
cara-cara untuk memperoleh uang melalui perjudian)
·
Tolerance.
Kebutuhan untuk berjudi dengan kecenderungan meningkatkan jumlah uang (taruhan)
demi mencapai suatu kenikmatan/kepuasan yang diinginkan
·
Withdrawal.
Menjadi mudah gelisah dan mudah tersinggung setiapkali mencoba untuk berhenti
berjudi
·
Escape.
Menjadikan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah
hidup atau perasaan yang kurang menyenangkan (contoh. Perasaan bersalah,
ketidakberdayaan, cemas, depresi, sedih)
·
Chasing.
Setelah kalah berjudi, cenderung kembali berjudi lagi untuk mengejar kemenangan
supaya memperoleh titik impas
·
Lying.
Berbohong kepada anggota keluarga, konselor atau terapist atau orang lain
tentang keterlibatan dirinya dalam perjudian
·
Loss of
control. Selalu gagal dalam usaha mengendalikan, mengurangi atau
menghentikan perilaku berjudi
·
Illegal
Acts. Terlibat dalam tindakan-tindakan melanggar hukum, seperti penipuan,
pencurian, pemalsuan, dsb, demi menunjang biaya finansial untuk berjudi.
·
Risked
significant relationship. Membahayakan atau menyebabkan rusaknya hubungan
persahabatan dengan orang-orang yang sangat berperan dalam kehidupan, hilangnya
pekerjaan, putus sekolah atau keluarga menjadi berantakan, atau kesempatan
berkarir menjadi hilang.
·
Bailout.
Mengandalkan orang lain untuk memberikan uang kepada dirinya ataupun
keluarganya dalam rangka mengurangi beban finansial akibat perjudian yang
dilakukan
Di dalam novel ada beberapa karakteristik diatas dalam diri Alexey
Ivanovich. Hanya saja apakah ada lima atau lebih
karakteristik yang terdapat dalam tokoh utama sehingga ia dapat dikategorikan
sebagai seorang pathological gambler?
Kita tahu bahwa Alexey sangat terobsesi dengan perjudian. Dia sepertinya tidak
pernah lepas dari aktivitas ini. Semenjak pertama kali mulai berjudi, atas
perintah Polina, dia seakan hidup dengan judi, khususnya roulette. Bagi dia, roulette
dapat mengubah nasib dengan seketika, dapat membuat dia kaya – dan juga miskin
– dengan sekejap (hal. 46). Dan baginya, laki-laki sejati adalah laki-laki yang
berani mengambil risiko (hal. 287). Selain itu bagi Alexei roulette adalah seperti halnya makanan. Ia bukan hanya sekedar
untuk main-main atau hiburan tetapi lebih sebagai kebutuhan yang harus
dipenuhi. Dia hidup untuk berjudi dan judi adalah kehidupannya.
Baginya kekalahan di meja judi
bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada banyak kesempatan untuk mendapatkan
kembali apa yang hilang. Setiap kali dia kalah, walaupun terkadang dihinggapi
rasa takut, dia akan selalu berusaha untuk memenangkannya kembali. Misalnya, di
halaman 225, dia menceritakan bagaimana dia selalu berusaha untuk mendapatkan
kembali apa yang hilang karena dia memiliki keyakinan yang kuat untuk dapat
menang bahkan sampai dengan koin terakhir.
“Kemudian, aku ingat, aku memasang
taruhan dua ribu florin pada dua belas angka tengah, dan kalah; aku
mempertaruhkan uang emasku, delapan puluh friedrich d’or, dan kalah. Aku
memandang dengan ketakutan: aku merenggut dua ratus florin yang masih aku
punyai dan mempertaruhkannya pada dua belas angka pertama – dengan serampangan,
dengan acak, tanpa berpikir! Saat itu, sesaat ketegangan, seperti, mungkin,
perasaan yang dialami oleh Madame Blanchard ketika ia melompat dari sebuah
balon di Paris
ke bumi.”
Tentu tidak hanya sekali itu ia melakukannya. Setiap kali mengalami
kekalahan, dia akan selalu berusaha untuk memenangkannya kembali. Begitu
seterusnya. Kegagalan yang dia alami sama sekali tidak membuat dia ragu pada
dirinya. Hal ini dikarenakan, dia memiliki keyakinan yang sangat kuat untuk
menang (hal. 56 dan 286). Bahkan untuk koin terakhir pun dia masih memiliki
keyakinan untuk memenangkannya.
Dalam berjudi Alexei memiliki kecenderungan untuk selalu menaikkan jumlah
taruhan, terutama ketika dia mulai menang. Di awal-awal permainan ketika dia
masih memiliki sedikit uang dia akan berhati-hati dalam hal jumlah taruhannya.
Dia akan bermain dalam taruhan-taruhan kecil. Tetapi ketika dia mulai menang
dan mendapat banyak uang, dia akan tergoda untuk mendapatkan kemenangan lebih
besar dan bertaruh dengan jumlah yang lebih besar pula walaupun dengan resiko
kalah dan kehilangan uangnya dengan cepat (hal. 46).
Alexei melakukan perjudian (roulette) sebagai bentuk pelarian. Baginya
judi adalah pekerjaannya. Dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dia andalkan
untuk mendapatkan uang, yang dapat menyelamatkan dirinya agar tetap hidup. Bagi
dia, roulette adalah tempat terbaik dan tercepat untuk mendapatkan uang. Dengan
kata lain dia menggunakan roulette sebagai wahana untuk membangun
harapan-harapannya.
“Jadi kau masih melanjutkan keyakinanmu bahwa roulette hanya merupakan
pelarian dan penyelamatanmu?” (hal. 29).
Alexei juga sangat sulit untuk
melepaskan diri dari perjudian. Dia sama sekali tidak dapat menghindar dari
berjudi ketika ada uang di tangannya, berapa pun itu. Judi dalam dirinya
bagaikan virus yang telah menyebar ke seluruh sel otaknya dan mempengaruhi cara
berpikirnya. Ia kehilangan kendali atas dirinya, dalam hal ini judilah yang
mempengaruhi cara dia bertindak. Inilah yang menyebabkan Mr. Astley tidak mau
memberi Alexei banyak uang. Dia tahu betul bahwa banyak atau sedikit uang yang
dia berikan pada Alexei, dia pasti akan menggunakannya untuk berjudi lagi (hal.
285).
Di banyak bagian dalam novel digambarkan bagaimana Alexei sering mengalami
masalah keuangan akibat kalah dalam berjudi. Dia mengalami kesulitan dalam
membayar uang hotel dan keperluan lainnya. Bahkan dia pun sempat dipenjara dan
bisa keluar hanya karena belas kasihan seseorang yang menebus dirinya. Uang
yang dia gunakan untuk berjudi juga kebanyakan adalah pemberian dari orang
lain. Dia pada hakikatnya tidak pernah menjadi benar-benar kaya dari berjudi,
walaupun sesekali dia mendapatkan kemenangan besar. Bahkan di akhir cerita, dia
membutuhkan pemberian uang dari Mr. Astley untuk menyusul Polina ke Swiss,
walaupun kemudian dia menggunakan uang itu untuk berjudi lagi.
Dari kenyataan diatas, Alexei Ivanovich, sang tokoh utama dalam novel ini
dapat dikatakan sebagai seorang pathological
gambler. Dalam dirinya paling tidak ada 5 atau lebih karakteristik seorang pathological gambler yaitu preoccupation, tolerance, escape, chasing,
loss of control, dan bailout.
SIMPULAN
Dari uraian di atas ada beberapa hal
yang dapat disimpulkan. Pertama permainan judi adalah permainan yang sangat
mencandu. Seorang yang awam sekalipun akan terjerat dalam candu ini ketika dia
mulai merasakan kemenangan. Kemenangan-kemenangan kecil dari berjudi jauh lebih
manis rasanya dari pada kemenangan-kemenangan jenis lain. Kemenangan dari
berjudi dapat membuat seseorang merasa sebagai orang yang selalu beruntung yang
akibatnya membuat dia selalu optimis.
Walaupun demikian, kemenangan itu
sebenarnya hanyalah tahap awal dari kekalahannya. Setelah dia merasakan
kemenangan-kemenangan, dia akan segera mengalami banyak kekalahan yang membuat
dia jatuh miskin dan putus asa. Dengan kata lain judi adalah cara terbaik untuk
jatuh miskin.
Adapun tokoh utama dalam novel The Gambler, Alexei Ivanovich, dapat
dikategorikan sebagai seorang pathological
gambler. Hal ini dikarenakan dia memenuhi paling tidak 5 dari 10
karakteristik seorang pathological
gambler yaitu preoccupation (terobsesi
dengan perjudian), tolerance (meningkatkan
jumlah taruhan), escape (sebagai
bentuk pelarian), chasing (selalu
berusaha memenangkan kembali apa yang kalah),
loss of control (kehilangan kontrol diri), dan bailout (dan
mengandalkan uang dari orang lain).
REFERENSI
1.
Carson, C. Robert., dan Butcher, James N. 1992.
Abnormal Psychology and Modern Life. Ninth edition. New York : Harper Collins Publishers Inc.
2.
Papu, Johanes. 2002. Perilaku Berjudi
://www.e-psikologi.com/epsi/sosial_detail.asp/diakses tanggal 12 Maret 2010.
3.
Pasternak IV, A.V. dan Fleming, M.F. 1999. Prevalence
of gambling disorders in a primary care setting. Archives of Family Medicine,
8, 515-520. http://www.basisonline.org/1999/11/index.html/ diakses tanggal 12
Maret 2010.
[1] Drs. D. Jupriono, M.Si., peminat kajian
kebudayaan Jawa; mengajar mata kuliah filsafat Sejarah Pemikiran Modern pada Fakultas
Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya; aktif di Pusat Penelitian
Sastra dan Strategi Kebudayaan (PPSSK), LPPKM, Untag Surabaya.
[2] Dr. Drs. H. Soekarno Hs., M.Si., peminat
kajian etika sosial, pengajar mata kuliah Dasar-dasar Filsafat (DDF), Etika,
dan Logika, sekaligus Dekan Fakultas Sastra, Untag Surabaya; serta dosen S2-S3
Program Studi Kebijakan Publik, Program Pascasarjana, Untag Surabaya.
[3] Produktivitas Suparto
Brata dalam menulis karya tampak pada banyaknya karya sastra Jawa—dia juga
menulis dalam sastra Indonesia—seperti Tanpa Tlacak (1962), Katresnan
kang Angker (1962), Kadurakan ing Kidul Dringu (1964), Pethite
Nyai Blorong (1965), Lara Lapane Kaum Republik (1965), Tretes
Tintrim (1965), Emprit Abuntut Bedhug (1966), Patriot-patriot
Kasmaran (1966), Lintang Panjer Sore (1966), Dinamit (1966), Pendhekar
Banyaragam (1967), Sanja Sangu Trebela (1967), Gempar Jayacakra (1967),
Boyolali Ricuh (1978), Asmarani (1983), Pawestri Telu
(1983), Lelakone Si lan Man (1989),
Astirin Mbalela (1995), Trem (2000), dan yang terakhir
terbit Donyane Wong Culika (2004). Ini belum termasuk banyak sekali
cerita pendek (cerkak) dan cerita bersambung di majalah berbahasa jawa
seperti Praba, Jaka Lodhang, Mekarsari, Jaya Baya, dan Panyebar
Semangat.
[4] Suparto Brata,
lahir di Surabaya 27 Februari 1932, anak dari pasangan R. Suratman Bratatanaya
dan B.R.A. Jembawati, masih dekat dengan trah darah biru bangsawan dari
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Pakubuwana V (1820—1823) di Kasunanan Surakarta.
Ketika kami wawancarai, sangat tampak Suparto sebagai intelektual, cerdas,
santun, berwawasan luas, juga amat terbuka—ciri-ciri karakter yang, menurut
persepsi banyak orang, tidak melekat pada rakyat jelata (wong cilik, kawula alit). Pandangan kami berdua—khususnya mengenai
sifat terbuka dan wawasan luas—juga tidak selalu melekat pada kelas priyayi.
[5] Kejahatan PKI
dalam novel Donyane Wong Culika (2004) mengingatkan orang pada salah
satu novel Suparto yang lain yang berbahasa Indonesia, Kremil (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002, 782 hal.). Kremil
mengangkat kehidupan perempuan-perempuan PSK di salah satu lembah lokalisasi di
Surabaya. Kejahatan PKI dalam novel ini memang bukan latar dominan, hanya salah
satu latar sosial dan temporal saja.
[6] Lih. D. Jupriono &
Soekarno Hs., ”Aktualitas Pesan Moral Puisi-puisi Kalatidha dan Serat Jaka
Lodhang Ranggawarsita” (Humanika
Vol. 08, No. 02, Desember 2004). Ditunjukkan dalam artikel ini bahwa pada
masyarakat Jawa dalam 1,5 abad terakhir terjadi krisis keteladanan moral dan
perilaku dari para pemimpin politik (korupsi) dan pemuka agama (laku maksiat).
[7] Periksa kembali catatan kaki no. 3 di
muka dalam artikel ini, sekaligus untuk memperlihatkan betapa banyaknya sumber
data dari novelis warga Kecamatan Rungkut, Surabaya ini.
*Versi awal makalah ini pernah dibentangkan pada Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Sosial, Humaniora, dan
Pendidikan untuk Membangun Karakter Bangsa, di Universitas Negeri Surabaya,
27 Maret 2010; dengan beberapa penyempurnaan, makalah dipresentasikan pada International
Seminar and the 3rd Colloquium:
Reaktualisasi Pendidikan Karakter dalam Upaya Mewujudkan Civil Society, di Universitas
Muhammadiyah Malang, 18-19 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar